Peredaran Obat Golongan G di Terminal Cimareme: “Dari Pangkas Rambut, Obat Itu Menyebar ke Anak-Anak Sekolah”

LINTASDESA.COM, BANDUNG BARAT — Di antara hiruk pikuk terminal Cimareme, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, terselip aktivitas ilegal yang kian meresahkan. Di balik kios kelontong dan pangkas rambut sederhana, obat keras golongan G seperti Tramadol dan Eximer diduga diperjualbelikan bebas—tanpa resep dokter dan tanpa pengawasan.
Warga sekitar menyebut, praktik ini bukan hal baru. “Dari dulu, di belakang pangkas rambut itu tempat jualan obat. Yang beli kebanyakan anak-anak muda, bahkan ada yang masih sekolah,” ujar seorang warga yang meminta namanya dirahasiakan saat ditemui akhir pekan lalu.
Menurutnya, aktivitas itu sempat terhenti sekitar tiga minggu lalu setelah pelaku yang disebut berasal dari Aceh ditangkap polisi. “Waktu itu sempat nggak jualan beberapa hari, tapi sekarang muncul lagi. Nggak tahu kenapa bisa begitu,” katanya.
Fenomena peredaran obat keras di Bandung Barat memang bukan kabar asing. Obat-obatan seperti Tramadol dan Eximer seharusnya hanya bisa diperoleh lewat resep dokter, karena efeknya yang bisa menimbulkan ketergantungan, gangguan kejiwaan, hingga kematian bila disalahgunakan. Namun di lapangan, pil-pil ini justru dijual bebas seolah permen di warung.

Ketua GAAN KBB: “Ini Bukan Sekadar Pelanggaran, Tapi Kejahatan terhadap Generasi muda”
Menanggapi kondisi tersebut, Ketua DPC Generasi Anti Narkoba Nasional (GANN) Kabupaten Bandung Barat, Agus Dadang Hermawan, angkat bicara. Ia menilai lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menjadi pintu masuk bagi peredaran obat keras di wilayahnya.
“Obat ini akan menghancurkan generasi muda penerus bangsa. Saya berharap aparat segera bertindak dan jangan sampai ada oknum, dari Polda hingga Polsek, yang melindungi praktik semacam ini,” tegas Agus, Senin (10/11/2025).
Agus juga menyoroti indikasi keterlibatan aparat penegak hukum dalam melindungi jaringan penjual obat keras tersebut. Berdasarkan laporan yang ia terima, aparat disebut mengetahui lokasi peredaran, namun hanya memberi teguran tanpa penindakan hukum yang tegas.
“Saya minta Pemerintah Pusat turun tangan. Kementerian Kesehatan, BPOM, dan Mabes Polri harus melakukan langkah konkret, tidak cukup hanya imbauan,” ujarnya.
Sanksi Berat di Balik Pil Murah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, pelaku yang memproduksi atau mengedarkan obat keras tanpa izin dapat dipidana hingga 15 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar. Sementara penjual tanpa izin edar terancam 10 tahun penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 435.
Namun ancaman hukum itu tampak belum membuat jera. Penjualan terus berlangsung secara terselubung, menandakan lemahnya efek gentar dari penegakan hukum.
Menjaga dari Akar Masalah
Agus mengajak masyarakat untuk lebih aktif melakukan pengawasan di lingkungan masing-masing. “Warga harus berani melapor bila melihat aktivitas mencurigakan. Ini soal masa depan anak-anak kita,” katanya.
Ia juga menilai, pemberantasan peredaran obat keras tidak bisa berhenti di penangkapan pelaku kecil. Pemerintah dan aparat perlu melakukan evaluasi total terhadap rantai distribusi obat keras di lapangan—dari produsen hingga pengecer—agar penegakan hukum berjalan efektif dan adil.
“Kalau negara gagal melindungi anak muda dari obat-obatan berbahaya, maka yang rusak bukan hanya tubuh mereka, tapi masa depan bangsa ini,” tutup Agus.
Kontributor: Asep Cahyana
Editor: Redaksi Lintasdesa.com
