Tunjangan PPh ASN: Hak Istimewa yang Layak Digugat?

Oleh: Zainul Arifin

Di tengah semangat reformasi birokrasi dan pemerataan ekonomi, publik mungkin tak banyak tahu bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) mendapatkan fasilitas unik bernama tunjangan Pajak Penghasilan (PPh). Artinya, pajak yang seharusnya dipotong dari gaji ASN justru dibayar kembali oleh negara, dengan uang rakyat.

Secara sederhana, ASN tidak benar-benar “membayar pajak” dari kantong pribadi, karena pajaknya sudah ditanggung oleh APBN atau APBD melalui pos belanja tunjangan PPh. Sementara itu, jutaan pekerja swasta di perusahaan seperti Indofood, PLN, atau UMKM tetap harus membayar PPh sendiri tanpa fasilitas serupa.

Potensi Ketidakadilan Fiskal

Dari sisi hukum, mekanisme ini memang diatur secara sah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban APBN atau APBD, serta diperjelas dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 262/PMK.05/2010 tentang Tunjangan Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, dan Anggota Polri.

Ketentuan teknisnya bahkan telah diperbarui melalui PMK No. 11/PMK.05/2016, yang menyesuaikan tata cara penyaluran dan pelaporan tunjangan tersebut agar selaras dengan sistem penggajian modern berbasis Sistem Aplikasi Satker (SAS) dan integrasi APBN. Artinya, hingga hari ini kebijakan tunjangan PPh ASN masih berlaku dan dibiayai secara resmi dari keuangan negara.

Namun, sah secara hukum belum tentu adil secara sosial. Jika kita kembali pada asas keadilan dalam Pasal 23A UUD 1945, pajak adalah kewajiban warga negara untuk pembangunan nasional. Maka, setiap orang, termasuk ASN, seharusnya menanggung beban pajak secara proporsional.

Ketika satu kelompok—dalam hal ini ASN—dibebaskan dari beban itu melalui mekanisme “tunjangan PPh”, muncul pertanyaan etik dan hukum: apakah ini masih sejalan dengan prinsip keadilan fiskal dan kesetaraan warga negara di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945?

Beban Pajak yang Tidak Merata

Untuk ilustrasi sederhana:
Seorang ASN golongan III dengan gaji Rp8 juta dikenai PPh sekitar Rp400 ribu per bulan, tetapi jumlah itu dikembalikan negara dalam bentuk tunjangan PPh.
Sebaliknya, seorang pegawai swasta dengan penghasilan sama tetap membayar pajak tersebut tanpa kompensasi apa pun.

Akhirnya, yang membayar pajak ASN bukan dirinya sendiri, melainkan masyarakat luas yang uang pajaknya digunakan untuk menanggung beban itu.
Inilah yang disebut sebagian ahli sebagai “asimetri fiskal” — perbedaan perlakuan pajak antar warga negara yang secara substansi sulit dibenarkan.

Apakah Bisa Digugat?

Secara hukum, kebijakan ini bisa diuji jika ada warga negara yang merasa dirugikan.

Jika yang digugat adalah PP No. 80 Tahun 2010, maka jalurnya adalah uji materi ke Mahkamah Agung (MA).

Jika yang digugat adalah ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU No. 7 Tahun 1983 jo. UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan), maka bisa diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dasar gugatannya bisa berbunyi:

“Kebijakan pemberian tunjangan PPh bagi ASN menimbulkan perlakuan tidak adil antara ASN dan pekerja swasta sebagai sesama pembayar pajak, sehingga bertentangan dengan asas kesetaraan dan keadilan dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”

Refleksi

Tentu, ASN berhak atas kesejahteraan dan kompensasi yang layak. Namun, ketika negara menanggung pajak bagi sebagian warganya, muncul persoalan etis: mengapa keistimewaan itu tidak berlaku bagi semua?

Jika pemerintah ingin menjaga moral fiskal dan kepercayaan publik, mungkin sudah waktunya kebijakan “tunjangan PPh” ini dievaluasi — bukan untuk mengurangi hak ASN, tetapi untuk mengembalikan rasa adil di antara sesama pembayar pajak.