Rasa Hormat yang Tak Butuh Jabatan

LINTASDESA.COM. Banyak orang mengira rasa hormat hanya datang bersama jabatan. Padahal di setiap organisasi, selalu ada sosok yang disegani tanpa perlu menduduki posisi tinggi. Mereka bukan ketua, bukan koordinator, tapi setiap kali berbicara, suasana mendadak tenang. Rasa hormat ternyata tidak bergantung pada struktur, melainkan pada kualitas kehadiran seseorang.

Sebuah studi dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa pengaruh seseorang di lingkungan kerja maupun organisasi 70 persen lebih ditentukan oleh kredibilitas personal, bukan jabatan formal. Orang cenderung mengikuti mereka yang dianggap kompeten dan bisa dipercaya, meskipun secara hierarki lebih rendah. Dalam banyak organisasi, kekuatan informal ini justru lebih stabil dibanding otoritas struktural.

Namun, dunia organisasi modern sering kali terjebak pada kultus jabatan. Banyak lembaga sosial, komunitas, bahkan gerakan rakyat sekalipun menilai seseorang dari posisi yang dipegangnya, bukan dari nilai yang dijaganya. Hierarki dijadikan tolok ukur tunggal kewibawaan, padahal seperti dikatakan Michel Foucault, kekuasaan sejati tidak hanya berada pada puncak piramida, melainkan tersebar dalam relasi sosial—dalam cara seseorang berbicara, mendengar, dan memberi makna. Dengan kata lain, pengaruh bukan monopoli struktur; ia tumbuh dari kredibilitas, kejujuran, dan konsistensi.

Dalam setiap organisasi, ada dua tipe orang: yang dihormati karena jabatan, dan yang dihormati karena kepribadian. Tipe pertama hanya disegani selama masih berkuasa, tipe kedua tetap dihormati bahkan setelah tak lagi memegang posisi. Dalam setiap rapat, aksi, atau pertemuan kecil, mereka yang memiliki wibawa alami membuat orang mendengarkan, bukan karena harus, tapi karena ingin.

“Kepemimpinan bukan tentang menguasai,
tapi tentang memahami dan memanusiakan.”

Rasa hormat seperti ini adalah bentuk tertinggi dari pengaruh sosial—dan itu bisa dipelajari.

  1. Jadilah Orang yang Bisa Diandalkan. Tidak ada yang lebih dihormati di organisasi selain orang yang bisa dipercaya menyelesaikan tanggung jawabnya tanpa drama. Orang yang menepati janji kecil sekalipun menciptakan reputasi besar. Ketika rekan seperjuangan tahu mereka bisa bergantung padamu, rasa hormat tumbuh tanpa perlu diminta. Di situlah kekuatan diam dari keandalan: kamu tidak mencari perhatian, tapi hasil kerjamu berbicara.
  2. Berpikir Jernih Saat Orang Lain Panik. Dalam situasi penuh tekanan, ketenangan adalah kekuatan langka. Orang yang bisa berpikir jernih ketika masalah datang akan selalu dihormati. Mereka menjadi jangkar stabil di tengah kekacauan. Ketenangan bukan berarti acuh, tapi kemampuan mengelola emosi. Dalam momen genting, satu keputusan tenang bisa menyelamatkan seluruh tim.
  3. Pandai Memberi Masukan Tanpa Merendahkan. Kritik yang baik tidak membuat orang merasa kecil, tapi membuka ruang refleksi. Di organisasi, orang yang bisa mengoreksi dengan hormat justru mendapat respek lebih tinggi dibanding mereka yang suka menggurui. Cara semacam ini menunjukkan kedewasaan emosional dan kepemimpinan yang berakar pada empati.
  4. Jaga Integritas, Sekalipun Tak Ada yang Melihat. Integritas bukan hanya soal tidak menyelewengkan amanah, tapi tentang keberanian berkata benar ketika mayoritas memilih diam. Keberanian seperti ini membangun rasa hormat yang tidak bisa dibeli. Orang mungkin tak selalu sepakat, tapi mereka akan mengingat kejujuranmu.
  5. Jadilah Penghubung, Bukan Pemisah. Setiap organisasi memiliki dinamika antarindividu dan potensi konflik. Orang yang bisa menjembatani perbedaan atau menjaga harmoni selalu disegani, bahkan tanpa posisi formal. Ketika dua pihak berselisih, kamu menjadi sosok yang mampu menenangkan tanpa berpihak. Dalam jangka panjang, peran ini membuatmu dianggap pemimpin alami.
  6. Tunjukkan Rasa Hormat Terlebih Dahulu. Rasa hormat tidak bisa dituntut, tapi bisa ditularkan. Orang yang ringan tangan membantu, yang mengucap terima kasih dengan tulus, dan yang tidak meremehkan kontribusi orang lain akan lebih cepat mendapat kepercayaan. Dalam konteks budaya organisasi, inilah pengaruh emosional—kemampuan menciptakan rasa dihargai tanpa harus menjadi penguasa.
  7. Kuasai Ilmu Tanpa Pamer Pengetahuan. Mereka yang benar-benar kompeten tidak butuh membuktikan diri lewat banyak bicara. Mereka menunjukkan kecerdasannya lewat solusi konkret dan keputusan matang. Pengetahuan yang tidak dipamerkan justru menciptakan otoritas alami yang tak tergoyahkan oleh jabatan.
Baca Juga :  Mengenal (KEJ) Dalam menjalankan tugas jurnalistik secara etis dan profesional.

Dalam organisasi, yang dihormati bukanlah mereka yang paling banyak bicara, tetapi mereka yang mampu mendengar dengan jernih dan memberi solusi ketika orang lain kebingungan. Dari kemampuan mendengarlah lahir kepekaan, dan dari kepekaan tumbuh pengaruh yang sejati.

Jabatan bisa hilang, tapi wibawa yang lahir dari karakter akan melekat. Rasa hormat di dalam organisasi bukan hadiah dari struktur, melainkan hasil dari konsistensi dan empati.

Seperti diingatkan Foucault, kekuasaan sejati hadir bukan ketika seseorang memerintah, melainkan ketika ia mampu memengaruhi arah tindakan orang lain melalui kesadaran yang bermakna, bukan paksaan. Karena itu, orang dengan integritas akan tetap dihormati bahkan tanpa simbol jabatan—mereka menanamkan keyakinan, bukan sekadar instruksi.

Organisasi yang hanya mengandalkan hierarki tanpa menumbuhkan kredibilitas personal sedang membangun tembok kekuasaan yang rapuh. Sudah saatnya kita membalik paradigma: pemimpin bukanlah mereka yang duduk di atas struktur, melainkan mereka yang mampu menghidupkan nilai di tengah struktur.

Dalam konteks Forum Membangun Desa (FORMADES), setiap individu adalah pemimpin. Pemimpin bagi dirinya sendiri, bagi komunitasnya, dan bagi perubahan yang ingin ia wujudkan. FORMADES mengajarkan bahwa wibawa sejati tidak lahir dari posisi, tetapi dari pengabdian yang konsisten pada nilai, pengetahuan, dan kemanusiaan.

Baca Juga :  Kemarahan Rakyat: Cermin Retaknya Negara dan Peringatan Bagi Penguasa

Sebab yang membuat seseorang dihormati bukanlah posisi yang disandangnya, melainkan cara ia membuat orang lain merasa berarti.
Dan sering kali, mereka bukan orang yang paling keras bersuara—melainkan yang paling tenang mendengar dan paling jernih memberi arah.

———-‐——————
Catatan:
Tulisan ini berpijak pada pemikiran Michel Foucault tentang power/knowledge—bahwa kekuasaan tidak hanya mengalir dari atas ke bawah, tetapi juga hidup dalam relasi, pengetahuan, dan tindakan sehari-hari.

Yoseph Heriyanto
Ketua Litbang & Inovasi
DPP Forum Membangun Desa (FORMADES)