Dari Mitos ke Maestro: Festival Seni Jimbung Ubah Takdir Desa dengan Sentuhan Kuas dan Irama

LINTASDESA.COM, KLATEN – Awal November 2025 menjadi penanda sebuah perubahan besar di Desa Jimbung, Kecamatan Kalikotes, Klaten. Di antara sawah yang hijau dan angin lembut dari arah Sendang Bulus, kehidupan desa tiba-tiba berdenyut dalam warna, suara, dan semangat baru.

Jalanan yang biasanya lengang menjelma menjadi panggung seni. Tenda-tenda UMKM berdiri berdampingan dengan galeri lukisan dan panggung musik, menandai lahirnya Festival Seni Jimbung 2025 — perayaan budaya yang mengubah wajah desa dari mitos menjadi maestro.

Sumpah Pemuda dan Nafas Kebangkitan

Festival yang digelar pada 1–2 November 2025 ini bertepatan dengan semangat Sumpah Pemuda, menjadi momentum kebangkitan seni dan budaya lokal. Dari lukisan hingga tarian, dari kreativitas anak muda hingga kebersamaan warga, seluruh energi Jimbung seakan menyatu dalam satu irama.

Tiga pelukis lokal tampil membuka festival dengan karya yang memukau — dari sapuan cat air lembut hingga kanvas berwarna berani. Setiap goresan adalah kisah tentang Jimbung yang terus mencari jati dirinya. Ada yang bermain dengan ilusi tiga dimensi hanya lewat pensil sederhana, membuktikan bahwa seni sejati tak selalu lahir dari kemewahan, melainkan dari ketulusan jiwa.

Ketika Inisiatif Warga Menjadi Gerakan Bersama

Kepala Desa Jimbung, Padio, menegaskan bahwa festival ini adalah hasil kerja kolektif masyarakat.

“Semua lahir dari inisiatif warga. Kami hanya memastikan dukungan penuh, karena kami percaya inilah langkah awal menuju perubahan besar bagi desa,” ujarnya dengan penuh keyakinan.

Dua tokoh penggagasnya, Aris Budi Pratomo dan M. Wavi, menyebut ide festival bermula dari kegiatan kecil yang selama ini rutin diadakan warga.

“Kami sering adakan pameran sederhana, latihan tari, atau lomba melukis anak-anak. Dari sana muncul kesadaran bahwa potensi ini perlu wadah yang lebih besar,” ujar Aris.

Seni, Irama, dan Gotong Royong

Festival Seni Jimbung menghadirkan beragam kegiatan: pameran lukisan, pentas tari, musik rakyat, senam budaya, dan bazar UMKM yang diikuti lebih dari 50 stand. Paguyuban muda-mudi Purno Raya turut memeriahkan acara, menghidupkan kembali semangat kebersamaan yang sempat pudar.

“Awalnya tidak mudah menyatukan visi. Tapi justru dari proses itulah kami belajar arti gotong royong,” ungkap Akbar Preambudi, S.T., M.Sc., Ketua Panitia sekaligus dosen Universitas Teknologi Yogyakarta, yang menjadi motor penggerak festival ini.

Seni yang Menghidupkan Kembali Desa

Akbar Priambudi, ST., M.Sc., Ketua Panitia Festival Deni Jimbung

Lebih dari sekadar perayaan, Festival Seni Jimbung adalah bentuk investasi sosial bagi masa depan desa.

“Seni adalah denyut nadi kehidupan. Ketika warga percaya pada potensinya, desa bisa hidup dan berkembang dengan caranya sendiri,” kata Akbar.

Ia juga berharap Dewan Kesenian memberi perhatian lebih kepada para seniman desa agar karya mereka dapat terus tumbuh dan menginspirasi.

Dari Sendang Bulus ke Panggung Kesenian

Kini, bayangan mitos pesugihan yang dulu melekat pada Sendang Bulus perlahan memudar, digantikan gemuruh tepuk tangan dan tawa generasi muda. Jimbung telah bertransformasi — dari desa legenda menjadi desa seni.

Festival Seni Jimbung membuktikan, bahwa dari tanah sederhana, lahir karya-karya besar. Dan dari gotong royong, tumbuh keyakinan bahwa seni bukan hanya hiburan, tetapi kekuatan untuk mengubah takdir. (Desi)