Ketika Sawah Mengering, Harapan Petani Bangsri Pun Layu

LINTASDESA.COM, KARANGANYAR — Musim kemarau tahun ini menjadi ujian berat bagi para petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar. Hamparan sawah seluas kurang lebih 23 hektare kini retak dan menguning, tanda-tanda kekeringan yang kian parah. Air irigasi yang selama ini menjadi tumpuan pengairan sudah tak lagi mengalir. Para petani hanya bisa menatap lahan mereka yang meranggas di bawah teriknya matahari.
“Kalau tidak segera turun hujan, habis semua ini, Mas. Sudah dua kali pemupukan, tapi tanahnya sekarang keras, airnya tidak ada,” tutur Suwarno (57), petani asal Dukuh Bangsri, saat ditemui di tepi pematang sawahnya yang kering dan retak.
Tahun ini sebenarnya sempat muncul secercah harapan. Setelah musim tanam kedua berakhir, hujan masih turun sesekali. Banyak petani kemudian berani berspekulasi menanam padi untuk ketiga kalinya. Mereka membajak sawah, membeli benih, membayar upah tanam, dan menyiapkan pupuk dengan harapan hasil panen bisa menutup biaya hidup menjelang akhir tahun.
Namun, cuaca berkata lain. Memasuki pertengahan musim tanam ketiga, hujan berhenti total. Sungai kecil yang menjadi sumber irigasi mengering. Saluran air yang biasanya mengalir tenang kini hanya menyisakan lumpur kering dan batu-batu kecil.

“Air irigasi sudah tidak cukup sejak awal September. Pompa sudah dicoba, tapi airnya tidak keluar. Akhirnya tanaman padi mulai menguning,” kata Tukiman (49), petani lain yang sawahnya terletak di bagian hilir saluran irigasi.
Akibatnya, hampir seluruh petani di wilayah Bangsri gagal panen. Padahal, sebagian dari mereka telah mengeluarkan biaya jutaan rupiah untuk modal tanam. Kini, tak ada yang bisa dilakukan selain pasrah dan berharap hujan segera turun.
Praktis, para petani di Bangsri hanya bisa menanam padi dua kali dalam setahun. Artinya, selama empat bulan ke depan mereka akan kehilangan sumber pendapatan utama. Beberapa di antara mereka mulai mencari pekerjaan lain: menjadi buruh bangunan, tukang ojek, atau berdagang kecil-kecilan di pasar.
“Kalau begini terus, kami harus cari tambahan penghasilan. Sawah sudah tidak bisa ditanami lagi, airnya benar-benar habis,” ungkap Widodo (40), yang kini mulai bekerja sebagai buruh serabutan di Karangpandan.

Namun, bagi para petani, persoalan ini bukan sekadar datang dan pergi mengikuti musim. Kekeringan yang terus berulang sebenarnya sudah lama mereka keluhkan kepada pemerintah. Kelompok tani di Bangsri beberapa kali mengajukan permintaan solusi kepada dinas terkait, mulai dari pembangunan embung, perbaikan saluran irigasi, hingga pelatihan diversifikasi tanaman.
Sayangnya, keluhan itu seolah hanya menjadi angin lalu. Hingga kini belum ada langkah nyata yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh petani.
“Dari dulu kami sudah sampaikan ke dinas pertanian, kalau air irigasi makin sedikit tiap tahun. Tapi ya begitu saja, tidak ada tindak lanjut. Kalau petani tidak bisa menanam padi di musim tanam ketiga, lalu harus diganti tanam apa? Tidak ada pendampingan atau solusi,” keluh Suwarno.
Pertanyaan sederhana itu menggantung di antara deretan padi yang kering: jika tanah dibiarkan sampai musim hujan tiba, apa yang bisa dilakukan petani untuk menutup biaya kebutuhan rumah tangga selama tidak menggarap sawah?
Situasi ini semestinya menjadi perhatian serius Pemerintah Daerah, khususnya Dinas Pertanian. Petani tidak hanya membutuhkan bantuan sesaat, tetapi strategi jangka panjang untuk menghadapi perubahan iklim dan ketidakpastian musim. Dukungan teknologi irigasi, pemetaan pola tanam, serta program pemberdayaan ekonomi alternatif menjadi hal mendesak yang seharusnya dipikirkan bersama.
Menanggapi kondisi tersebut, Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karanganyar, E. Wihartomo, S.Pt., M.M., menyatakan bahwa pihaknya akan segera menindaklanjuti laporan warga.
“Terima kasih informasinya, akan kita tindaklanjuti dengan menurunkan petugas lapangan untuk mendampingi. PPL-nya juga sudah saya hubungi agar besok turun ke lapangan,” ujar Wihartomo melalui pesan singkat, Sabtu, (11/10/2025).
Langkah ini diharapkan dapat memberikan pendampingan langsung kepada petani dan menemukan solusi jangka pendek agar kerugian tidak semakin meluas.
Kini, di tengah lahan yang retak dan tanaman padi yang menguning, hanya suara lirih angin yang terdengar. Setiap helai daun padi yang kering seperti membawa pesan getir—tentang kerja keras yang tak berbuah, tentang harapan yang layu sebelum sempat dipanen.
“Sekarang tinggal berdoa. Semoga hujan segera turun dan kami bisa mulai lagi,” ujar Suwarno lirih.
Dan di Bangsri, doa itu kini menjadi satu-satunya air yang tersisa. (Red*)