Balik Nama Jual Beli HP: Antara Dalih Regulasi dan Potensi Komersialisasi Kebijakan Publik

LINTASDESA.COM | Jakarta – Kabar tentang rencana Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk memberlakukan balik nama ponsel bekas (HP second) memantik gelombang tanya di tengah masyarakat. Bukan karena rakyat menolak keteraturan, tetapi karena di balik bahasa “tertib administrasi” itu, tercium aroma komersialisasi kebijakan publik yang bisa menambah beban rakyat tanpa kejelasan manfaat.
Komdigi berdalih bahwa kebijakan balik nama diperlukan untuk “meningkatkan keamanan digital dan melindungi konsumen dari penipuan HP curian.” Sekilas terdengar masuk akal. Namun jika ditelisik lebih dalam, kebijakan ini sejatinya tak jauh berbeda dari langkah sebelumnya: pengendalian IMEI yang sejak 2020 digadang-gadang sebagai instrumen untuk mencegah ponsel ilegal.
Faktanya, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Keuangan, pengendalian IMEI disebut berpotensi menambah penerimaan negara hingga Rp 2,8 triliun per tahun dari pajak perangkat yang sebelumnya tak tercatat. Di sisi lain, penegak hukum juga mengungkap kasus IMEI ilegal yang merugikan negara sebesar Rp 353 miliar (Bisnis.com, 28 Juli 2023).
Artinya, di balik narasi perlindungan konsumen, terdapat motif fiskal yang signifikan. Tak tertutup kemungkinan, kebijakan balik nama HP second akan menjadi instrumen baru untuk memungut biaya administrasi yang diatasnamakan “pendataan ulang” atau “verifikasi perangkat.”
“Rakyat tidak butuh kebijakan yang hanya mengganti istilah pungutan. Kalau setiap transaksi sosial dijadikan objek pajak dan biaya administratif, maka pemerintah sedang melupakan fungsi utamanya: melayani, bukan membebani,” ujar Junaidi Farhan, Ketua Umum Forum Membangun Desa (Formades) dalam keterangannya.
Tak bisa diabaikan, sektor teknologi dan telekomunikasi adalah lahan empuk bagi korporasi besar. Produsen dan distributor resmi jelas diuntungkan oleh regulasi yang mempersempit ruang bagi ponsel non-resmi. Namun yang lebih mencemaskan adalah potensi privatisasi data dan layanan publik — di mana perusahaan penyedia verifikasi, platform marketplace, hingga vendor keamanan digital bisa menjadi pihak ketiga yang “memungut” biaya dari layanan balik nama.
Formades melihat bahwa sistem seperti ini, jika tidak dikawal transparansinya, bisa menjadi ladang rente baru. “Jangan sampai negara menyerahkan urusan administrasi rakyat kepada korporasi dengan dalih efisiensi digital. Rakyat berhak atas pelayanan publik yang adil, transparan, dan gratis sejauh menyangkut hak dasar mereka,” tegas Junaidi.
Dalam konteks digitalisasi pemerintahan, Formades tidak menolak modernisasi. Tapi digitalisasi tanpa prinsip keadilan sosial dan keberpihakan kepada rakyat kecil hanya akan menjadi kedok baru bagi eksploitasi birokratis. Formades menilai, rencana kebijakan balik nama HP second ini perlu dikaji ulang secara menyeluruh, baik dari aspek manfaat, dampak sosial-ekonomi, maupun potensi penyalahgunaan data pribadi.
Kebijakan publik seharusnya menjawab kebutuhan, bukan menciptakan kerumitan. Jika tujuannya adalah keamanan digital, maka pendidikan literasi digital jauh lebih penting daripada menambah lapisan administratif yang justru mempersulit pengguna HP bekas, terutama di daerah pedesaan yang ekonominya terbatas.
“FORMADES mendesak Komdigi untuk meninjau kembali rencana ini, membuka ruang dialog publik, dan memastikan setiap kebijakan digital tidak menjelma menjadi beban ekonomi baru. Negara tidak boleh kehilangan nuraninya di tengah geliat industri,” pungkas Junaidi. (Red*)