Ketua Umum Formades: Rutinitas Desa Implementasi Kesaktian Pancasila

LINTASDESA.COM | Bandar Lampung – Setiap kali bangsa ini memperingati Hari Kesaktian Pancasila, ingatan kita sering tertuju pada peristiwa sejarah 1965 yang sarat luka dan pengkhianatan. Namun, bagi saya, makna kesaktian Pancasila tidak hanya terletak pada keberhasilan bangsa menghadapi ancaman ideologi asing. Kesaktian Pancasila justru nyata dalam kehidupan sehari-hari rakyat di desa.

Desa adalah ruang di mana Pancasila tidak berhenti sebagai jargon, melainkan menjadi perilaku. Gotong royong bukan hanya kata indah di buku sekolah, tetapi nyata di sawah saat warga bahu-membahu panen. Musyawarah bukan sekadar konsep politik, tetapi hidup dalam balai desa, saat persoalan diselesaikan dengan kepala dingin. Solidaritas sosial bukan teori, melainkan hadir ketika tetangga ikut menanggung duka keluarga lain.

“Kesaktian Pancasila bukanlah mitos, melainkan kenyataan yang bisa kita lihat setiap hari di desa. Selama gotong royong, musyawarah, dan kebersamaan masih hidup di sana, maka Pancasila tidak akan pernah kehilangan kekuatannya,” tegas Ketua Umum Formades, Junaidi Farhan.

Namun, saya harus jujur, desa hari ini menghadapi tantangan besar. Modernisasi, arus informasi, dan godaan individualisme sering kali menggerus nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi Pancasila. Ketimpangan pembangunan pun membuat desa masih dianggap sebagai objek, bukan subjek utama perjalanan bangsa. Bila hal ini dibiarkan, akar kita akan rapuh, dan Pancasila bisa kehilangan ruang hidupnya.

Karena itu, bagi Formades, memperingati Hari Kesaktian Pancasila berarti memastikan desa diberi ruang yang adil untuk berkembang. Desa harus berdaulat atas potensi alamnya, berdaya atas ekonominya, serta cerdas dalam menjaga persatuan dan kebersamaan.

“Kalau desa kuat, maka Indonesia akan tegak. Tapi bila desa rapuh, maka fondasi bangsa ini pun akan goyah. Itulah mengapa Hari Kesaktian Pancasila harus dimaknai dengan memperkuat desa,” ungkap Junaidi Farhan.

Kesaktian Pancasila tidak kita temukan di pidato-pidato megah semata, melainkan di ladang, sawah, dan kehidupan sosial desa yang sederhana namun tulus. Selama desa tegak, selama nilai-nilai itu terus diwariskan, selama rakyat kecil tetap percaya bahwa kebersamaan lebih kuat daripada perpecahan—selama itu pula Pancasila akan tetap sakti. (irw*)