Surat Terbuka FORMADES Untuk Presiden Prabowo Tentang Darurat Keselamatan MBG

LINTASDESA.COM | Bandung Barat – Forum Membangun Desa (FORMADES) sebuah perkumpulan yang lahir dari masyarakat akar rumput dan konsen pada pembangunan desa ikut merasakan prihatin dan empati atas terjadinya beberapa peristiwa keracunan pada anak – anak bangsa yang mendapat program Makan Bergizi Gratis (MBG) dibeberapa daerah.

Formades yang juga bersekretariat di Cipongkor Kabupaten Bandung Barat, melihat dan terlibat langsung atas peristiwa keracunan massal para siswa yang terjadi secara beruntun dalam sepekan disekitar sekretariat bersama Formades. Rasa empati dan keprihatinan tersebut menggerakkan Formades untuk menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia bapak Prabowo Subianto tentang darurat keamanan dan keselamatan program makan bergizi gratis (MBG)

Bandung Barat, 30 September 2025

Yth. Bapak Presiden Republik Indonesia
Prabowo Subianto
di Jakarta

Dengan penuh rasa hormat, kami dari Forum Membangun Desa (FORMADES) menyampaikan keprihatinan mendalam atas terjadinya rangkaian kasus keracunan massal dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini dirancang sebagai salah satu janji besar negara dalam memastikan gizi anak bangsa, namun di balik niat baik itu kini muncul tragedi yang tidak boleh dipandang remeh.

Data terbaru yang dirilis oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan bahwa hingga 27 September 2025, sedikitnya 8.649 anak menjadi korban keracunan MBG. Dari jumlah tersebut, 3.289 anak tercatat hanya dalam kurun dua pekan terakhir, dengan lonjakan signifikan sekitar 2.197 anak pada 22–27 September 2025. Fakta ini memperlihatkan bahwa insiden keracunan bukanlah kasus insidental, melainkan fenomena sistemik yang semakin meluas.

Persoalan Bukan Angka, Tetapi Nyawa

FORMADES menegaskan dengan tegas: persoalan keracunan MBG bukan sekadar angka, tetapi persoalan nyawa manusia. Setiap anak yang jatuh sakit akibat makanan yang disediakan negara adalah sebuah peringatan keras bahwa sistem kebijakan ini mengandung cacat fundamental.

Baca Juga :  Mulai 1 Agustus Wajib Pasang Bendera Merah Putih di Seluruh Nusantara.

Apabila negara hanya melihat persoalan ini sebagai statistik — ribuan korban dibanding jutaan penerima manfaat — maka negara sedang menempatkan hidup anak-anak bangsa sebagai sekadar variabel matematis. Padahal, konstitusi dan peraturan perundang-undangan telah jelas mengamanatkan:

  1. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
  2. Pasal 34 ayat (1) UUD 1945: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
  3. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa negara wajib menjamin hak anak atas kesehatan.
  4. UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menegaskan bahwa setiap anak berhak atas makanan yang aman, bergizi, dan tidak membahayakan.

Maka jelaslah bahwa keracunan MBG bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan indikasi kelalaian struktural yang melanggar hak-hak dasar anak bangsa.

Pandangan Ahli: Masalah Sistemik, Bukan Insidental

Sejumlah pakar memberikan catatan penting terkait kasus ini:

  1. Dr. Tridoyo Kusumastuti (UGM): “Distribusi makanan dalam skala besar tanpa kontrol suhu yang ketat adalah undangan bagi bakteri untuk berkembang biak.”
  2. Dr. Mohamad Nasir (UMY): “Produksi massal dengan sistem katering terpusat memang tampak efisien, tetapi justru sangat rentan terhadap penurunan mutu. Skema lokal berbasis sekolah dan komunitas lebih aman dan lebih mudah diawasi.”
  3. Prof. Dr. Ahmad Syafrudin (ITB, ahli kesehatan lingkungan): menegaskan bahwa keracunan massal sering berawal dari satu titik kecil kesalahan yang kemudian menyebar karena distribusi besar tanpa kontrol.
  4. Dr. Retno Astuti (IPB, pakar gizi): “Standar gizi tanpa higienitas hanyalah ironi. Niat menyehatkan anak justru berbalik membawa penyakit.”
  5. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI): mengingatkan bahwa anak-anak memiliki kerentanan fisiologis lebih tinggi terhadap paparan racun dan bakteri, sehingga kasus keracunan massal harus dipandang serius, bukan ringan.
Baca Juga :  Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi Di-reshuffle

Pandangan para ahli tersebut menegaskan bahwa akar persoalan terletak pada sistem distribusi yang terpusat, minim pengawasan, dan tidak adaptif dengan kondisi lokal.

Tawaran Solusi FORMADES

FORMADES menawarkan solusi konkret untuk memperbaiki pelaksanaan MBG agar tragedi tidak terus berulang:

  1. Desentralisasi Pengelolaan MBG
    Serahkan pengelolaan langsung ke sekolah dengan melibatkan komite sekolah, guru, wali murid, dan pelaku UMKM lokal.
  2. Pengawasan Ketat & Transparan
    Bentuk tim pengawas independen yang terdiri dari dinas kesehatan, tokoh masyarakat, dan organisasi sipil. Transparansi harus dijadikan standar utama.
  3. Standardisasi & Sertifikasi
    Semua penyedia MBG wajib mendapatkan sertifikat kelayakan dari Dinas Kesehatan setempat dan diperiksa berkala.
  4. Pemberdayaan Desa & Petani Lokal
    Rantai pasok harus dipersingkat dengan melibatkan BUMDes, koperasi, dan kelompok tani setempat. Selain aman, juga menggerakkan ekonomi desa.
  5. Sistem Tanggap Darurat
    Negara wajib menyiapkan mekanisme cepat penanganan keracunan massal, termasuk tanggung jawab atas biaya pengobatan, pemulihan, dan perlindungan hukum bagi korban.

Bapak Presiden, data 8.649 anak korban keracunan MBG adalah alarm nasional. Angka ini bukan sekadar catatan statistik, melainkan representasi dari nyawa, tubuh, dan masa depan anak-anak Indonesia. Jika negara gagal menjamin keamanan program MBG, maka negara sedang abai terhadap kewajiban konstitusionalnya sendiri.

FORMADES percaya bahwa MBG dapat menjadi kebijakan unggulan yang benar-benar menyehatkan dan membanggakan bangsa, jika pengelolaannya dikembalikan kepada sekolah, masyarakat lokal, dan diawasi secara ketat.

Kami menyerukan kepada Bapak Presiden untuk segera mengambil langkah korektif, bukan sekadar menyatakan keprihatinan. Setiap hari keterlambatan berarti ada anak lain yang bisa menjadi korban berikutnya.

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan. Semoga negara hadir dengan penuh keberanian moral dan politik untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa.


Hormat kami,
Forum Membangun Desa (FORMADES)