Pungli Berkedok Sumbangan di Sekolah Negeri: Preseden Buruk bagi Pendidikan

Oleh : Muhamad Heru Priono
Maraknya pungutan yang dibalut dengan kata-kata sumbangan sukarela, infak, shodaqoh, atau yang lainnya oleh Komite Sekolah di satuan pendidikan dasar negeri patut menjadi perhatian serius.
Peraturan pemerintah yang melarang pungutan liar di sekolah adalah untuk memastikan bahwa pendidikan di Indonesia dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkendala biaya yang tidak jelas. Namun, dengan masih adanya pungutan yang dibalut dengan kata-kata sumbangan sukarela, infaq, shodaqoh dan lainya seakan-akan Komite Sekolah tidak peduli dengan peraturan yang ada.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang dibacakan 27 Mei 2025 telah melarang segala bentuk pungutan di sekolah negeri. Termasuk yang dibungkus dengan istilah “sumbangan komite sekolah”. Putusan ini menegaskan bahwa pendidikan dasar di tingkat SD dan SMP adalah gratis sepenuhnya, dan seluruh pembiayaannya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Putusan ini juga menyebutkan bahwa pendanaan sekolah harus dialokasikan melalui dana BOS dari APBN atau BOSDA dari APBD. Artinya, sekolah negeri tidak boleh lagi meminta biaya apapun kepada peserta didik maupun orang tua, baik dalam bentuk pungutan resmi maupun sumbangan yang dibatasi jumlah atau waktunya.
Sebelumnya larangan memungut sumbangan dari orang tua murid juga ada pada beberapa peraturan diantaranya :
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 44 Tahun 2012 : Peraturan ini menjelaskan tentang pungutan dan sumbangan biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar. Dalam peraturan ini, disebutkan bahwa sumbangan harus bersifat sukarela dan tidak memaksa.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional : Undang-undang ini menjamin pendidikan dasar tanpa pungutan, terutama untuk pendidikan SD, SMP, dan SMA atau SLTA sederajat.
Faktor penyebab maraknya pungli di Satuan Pendidikan.
“Sumbangan yang memiliki batas nominal atau tenggat waktu, otomatis berubah status menjadi pungutan, yang melanggar hukum”
Kurangnya pemahaman tentang peraturan, kurangnya pengawasan dari pemerintah dan lembaga terkait memungkinkan Komite Sekolah melakukan pungutan liar tanpa konsekwensi, atau praktek yang memang sudah membudaya berlangsung lama sehingga sulit untuk merubahnya. Rasanya sudah tidak bisa mengkambing-hitamkan oknum lagi, faktanya praktek seperti ini merebak hampir di seluruh wilayah negara.
Preseden Buruk bagi Pendidikan.
Praktik pungutan liar di sekolah dapat menjadi preseden buruk bagi kualitas pendidikan di Indonesia. Selain itu, perilaku korup dan ketidakpatuhan terhadap peraturan dapat menjadi contoh yang tidak baik bagi siswa didik. Siswa didik dapat belajar bahwa melakukan pelanggaran terhadap peraturan dapat dibenarkan jika tujuannya adalah untuk mencapai kepentingan tertentu.
Dampak terhadap Siswa dan Orang Tua
Praktik pungutan liar di sekolah dapat berdampak negatif terhadap siswa dan orang tua. Siswa dapat merasa tidak nyaman dan tidak percaya diri jika mereka tidak mampu membayar sumbangan yang diminta. Orang tua juga dapat merasa dirugikan dan tidak puas dengan pelayanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah.
Perlu Tindakan Konkret
Pemerintah dan lembaga terkait perlu melakukan tindakan konkret untuk mengatasi praktik pungutan liar di sekolah. Sekolah dan Komite Sekolah perlu diberikan pemahaman yang jelas tentang peraturan yang ada dan konsekuensi jika mereka melanggarnya. Selain itu, perlu ada mekanisme pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa sekolah dan Komite Sekolah patuh terhadap peraturan.
Membangun Pendidikan yang Berkualitas
Pendidikan yang berkualitas adalah hak setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius untuk memastikan bahwa pendidikan di Indonesia dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkendala biaya yang tidak jelas dan bebas dari pungutan liar. Dengan demikian, kita dapat membangun pendidikan yang berkualitas dan berkarakter untuk memajukan bangsa Indonesia. (Kendal, 20/9/25 21:10)