Gen-Z dan Sosial Media: Agen Perubahan dari Desa

Oleh : Muhamad Heru Priono
Idealisme pemuda ibarat api yang menjaga bangsa dari kegelapan moral. Tanpa api itu, ruang publik akan berubah menjadi arena transaksi, bukan lagi panggung perjuangan demi kemaslahatan bersama. Generasi muda yang kehilangan idealismenya akan mudah larut dalam kenyamanan, abai terhadap ketidakadilan, bahkan menormalisasi perilaku koruptif. Padahal, sejarah selalu mencatat: perubahan besar lahir dari keberanian pemuda yang teguh pada nilai dan berani berkata “tidak” pada penyimpangan.
Gen-Z: Tumbuh dalam Dunia Digital
Generasi yang lahir antara 1997–2012, yang dikenal sebagai Generasi Z (Gen-Z), tumbuh dalam dunia digital yang serba cepat dan dinamis. Disebut juga Zoomer—zooming into adulthood—mereka terbiasa melakukan multitasking: belajar sambil membuka media sosial, berdiskusi sambil menonton video, atau bekerja sembari membangun jejaring daring. Karakter ini membuat mereka lebih adaptif dalam mengolah informasi, sekaligus lebih kritis dalam merespons realitas sosial.
Belajar dari Nepal
Contoh paling menarik datang dari Nepal. Baru-baru ini, Gen-Z di negeri Himalaya itu berhasil mengukir sejarah politik modern. Melalui gelombang protes dan konsolidasi digital, mereka mendorong perubahan pemerintahan hanya dalam hitungan minggu.
Yang unik, mereka menggunakan platform Discord—yang biasanya dipakai gamer—sebagai ruang diskusi, berbagi laporan lapangan, hingga menggelar pemungutan suara daring di server Youth Against Corruption dengan anggota lebih dari 130 ribu orang.
Hasilnya, Sushila Karki, mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal yang dikenal berani melawan korupsi, dipilih sebagai perdana menteri sementara. Figur bersih itu menjadi simbol harapan, sementara Gen-Z membuktikan diri bukan hanya mahir menggunakan teknologi, tetapi juga teguh memegang idealisme.
Media Sosial: Dari Kota ke Desa
Apa yang terjadi di Nepal memberi pelajaran berharga: media sosial dapat menjadi alat perubahan sosial-politik yang efektif. Ia mempercepat arus informasi, memperluas jejaring, dan memobilisasi dukungan lintas batas. Pertanyaannya, mungkinkah praktik ini diterapkan di pedesaan Indonesia?Jawabannya: sangat mungkin.
Masyarakat desa kini mulai terkoneksi melalui telepon pintar dan jaringan internet. Anak-anak muda desa, khususnya Gen-Z, dapat menjadi jembatan antara komunitas lokal dengan dunia luar. Mereka bisa mengangkat isu petani, nelayan, atau masyarakat adat agar tidak tenggelam di balik hiruk pikuk kota.
Kelebihan dan Tantangan
Ada sejumlah kelebihan penggunaan media sosial di pedesaan:
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu sosial-politik.
2. Memobilisasi dukungan publik untuk perubahan yang lebih adil.
3. Mendorong transparansi dalam kebijakan dan tata kelola desa.
Namun, tantangannya pun nyata:
1. Tidak semua wilayah pedesaan memiliki akses internet yang memadai.
2. Literasi digital masih terbatas, sehingga rawan manipulasi informasi.
3. Disinformasi dapat menyusup dan memecah belah masyarakat.
Menyalakan Api Perubahan dari Desa
Generasi Z di pedesaan punya potensi besar untuk menjadi agen perubahan. Dengan keberanian yang diwariskan sejarah dan kecakapan digital yang menjadi ciri zamannya, mereka dapat memanfaatkan media sosial bukan hanya sebagai ruang hiburan, melainkan juga sebagai alat perjuangan.
Jika api idealisme tetap menyala dan diarahkan untuk kepentingan publik, desa-desa tidak lagi sekadar penonton perubahan, melainkan menjadi pusat lahirnya gagasan-gagasan besar untuk Indonesia yang lebih adil dan bermartabat.
Lintasdesa.com, kdl. (19/9/2025)