Kemarahan Rakyat: Cermin Retaknya Negara dan Peringatan Bagi Penguasa

Oleh Yoseph Heriyanto

Yoseph Heriyanto Ketua Litbang & Inovasi DPP Forum Membangun Desa (FORMADES)

Lintasdesa.com–Kemarahan rakyat yang hari ini meledak di berbagai daerah tidak hadir dalam ruang hampa. Ia lahir dari penumpukan kekecewaan, pengkhianatan janji, serta perasaan ditinggalkan oleh negara yang semestinya menjadi rumah bersama. Apa yang terlihat di jalanan bukan sekadar kerumunan massa yang berteriak menuntut perubahan. Itu adalah cermin dari sebuah bangsa yang kian jauh dari cita-cita keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.

Pemerintah, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, sejatinya merupakan satu kesatuan pilar yang berfungsi menjaga keseimbangan negara. Namun kenyataan menunjukkan, ketiganya telah larut dalam arus kepentingan yang tidak berpihak pada rakyat. Ketimpangan sosial-ekonomi menganga di mana-mana, membuat jurang kaya dan miskin semakin lebar. Rakyat kecil, buruh, petani, nelayan, pedagang kaki lima, hingga pekerja informal, semakin terhimpit oleh kebijakan yang lebih banyak menguntungkan segelintir elite politik dan ekonomi.

Janji-janji manis yang dahulu digaungkan oleh para pemimpin kini tinggal retorika kosong. Salah satu yang paling menyakitkan adalah janji penyediaan lapangan kerja hingga 19 juta yang digembar-gemborkan. Faktanya, lapangan kerja itu tidak pernah benar-benar hadir.

Angka pengangguran masih tinggi, pekerjaan informal semakin banyak, dan daya beli masyarakat terus menurun. Pendapatan semakin kecil, sementara biaya hidup kian melambung. Kondisi ini tidak hanya melahirkan frustrasi, tetapi juga rasa tidak percaya pada negara.

Lebih jauh, praktik culas perampasan tanah rakyat semakin menggila. Atas nama pembangunan, investasi, atau proyek strategis nasional, lahan-lahan yang telah dikelola rakyat selama puluhan tahun tiba-tiba dicaplok oleh negara dan dialihkan ke korporasi.

Mereka yang mencoba bertahan justru berhadapan dengan aparat yang represif. Sementara para pemilik modal besar bisa melenggang dengan tenang, rakyat kecil dipaksa angkat kaki dari tanah yang telah menjadi sumber kehidupannya.

Represifitas aparat tidak lagi sebatas isu dan wacana di ruang publik, tetapi sudah menjelma menjadi fakta lapangan yang kerap disuguhkan. Dalam setiap aksi rakyat, kita menyaksikan bagaimana aparat negara tampil bak palu godam: keras ke bawah, lunak ke atas.

Baca Juga :  Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi Di-reshuffle

Gas air mata, peluru karet, hingga penangkapan sewenang-wenang menjadi wajah nyata dari negara yang kehilangan empati. Ironisnya, sikap ini tidak pernah berlaku kepada mereka yang memiliki uang dan kuasa.

Hukum, yang seharusnya menjadi panglima, justru tunduk pada kepentingan segelintir elit. Tajam ke bawah, tumpul ke atas—ungkapan ini semakin relevan. Korupsi merajalela di hampir semua lini, namun hanya sebagian kecil kasus yang benar-benar diselesaikan dengan tegas. Sementara itu, rakyat kecil yang melakukan kesalahan sepele bisa langsung diganjar hukuman tanpa ampun.

Aset tambang, perkebunan, dan laut dikuasai oleh oligarki melalui praktik komersialisasi yang legal secara hukum tetapi cacat secara moral. Negara lebih sibuk melayani investasi asing dan korporasi raksasa ketimbang memikirkan keberlangsungan hidup rakyatnya. Kekayaan alam yang seharusnya menjadi milik bersama, kini berubah menjadi ladang keuntungan segelintir orang.

Petani, yang seharusnya menjadi tulang punggung bangsa, semakin kehilangan kedaulatannya. Harga hasil panen tidak pernah berpihak ke petani, sementara biaya produksi terus melambung. Harga pupuk mahal, biaya irigasi membengkak, dan ongkos sewa lahan dan alat produksi semakin menekan, membuat keuntungan nyaris tak ada. Ironisnya, harga jual hasil panen justru dipermainkan pasar dan tengkulak. Akibatnya, petani terjebak dalam lingkaran utang yang menjerat mereka semakin dalam.

Tidak hanya itu, pemerintah juga terus membebankan pajak yang memberatkan rakyat, tanpa diimbangi jaminan kesejahteraan. Kehidupan rakyat justru semakin jauh dari kelayakan. Sementara pejabat publik hidup dengan segala fasilitas, gaji, dan tunjangan yang melimpah, rakyat harus bersusah payah sekadar untuk bertahan hidup.

Kemarahan rakyat hari ini seringkali dibingkai oleh pemerintah sebagai ulah provokator atau hasil orkestrasi kelompok tertentu. Narasi ini tidak hanya dangkal, tetapi juga berbahaya. Ia menutup mata dari akar persoalan sesungguhnya. Rakyat tidak perlu diprovokasi untuk marah; realitas hidup sehari-hari sudah cukup menjadi bahan bakar bagi kemarahan itu.

Baca Juga :  Menguji Integritas Desa di Balik Rp. 680 Triliun Dana Desa

Apa yang hari ini kita lihat di jalanan bukan sekadar kerusuhan atau aksi brutal. Itu adalah peringatan keras kepada para penguasa: berhentilah membuat kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Berhentilah memperlakukan rakyat sebagai beban atau ancaman. Dan berhentilah menganggap negara adalah milik segelintir orang.

Dalam menyikapi kondisi ini, negara tidak semestinya mengeluarkan kebijakan dan narasi-narasi yang mengintimidasi rakyat yang justru bisa menjadi potensi memperburuk tindakan represif aparat terhadap suara rakyat. Hentikan pula tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar, yang hanya akan menimbulkan dendam rakyat semakin menguat terhadap para pemimpinnya.

Kemarahan rakyat adalah cermin retaknya hubungan antara negara dan warganya. Ia menandakan runtuhnya legitimasi moral pemerintah di mata rakyat. Jika negara tidak segera melakukan evaluasi menyeluruh dan perbaikan mendasar, maka jangan salahkan rakyat bila mereka mencari jalannya sendiri.

Sejarah bangsa ini telah mencatat berulang kali: ketika negara gagal memenuhi rasa keadilan, rakyat akan mengambil alih panggung sejarah. Reformasi 1998 adalah bukti nyata bagaimana rakyat bisa mengguncang singgasana kekuasaan. Apakah para penguasa hari ini ingin mengulang kesalahan yang sama?

Kebijakan publik yang hanya menguntungkan elite ekonomi dan politik, tanpa memikirkan keberlanjutan hidup rakyat banyak, adalah bom waktu. Negara yang tidak mendengar suara rakyatnya sedang menggali liang kuburnya sendiri.

Tulisan ini bukanlah ajakan untuk membakar kemarahan, melainkan refleksi bahwa kemarahan rakyat hari ini adalah sinyal paling serius yang seharusnya disadari oleh para pejabat publik. Jangan menutup mata, jangan membungkam suara rakyat, dan jangan lagi mengulangi kesalahan yang sama.

Negara bukanlah milik presiden, bukan milik legislatif, bukan milik yudikatif, dan bukan pula milik oligarki. Negara adalah milik rakyat. Bila negara gagal mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, maka rakyat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri, entah dengan cara apa pun.

Kemarahan rakyat hari ini adalah peringatan serius. Jangan biarkan peringatan ini berubah menjadi badai yang meluluhlantakkan segalanya.