Penempatan Jabatan Diutamakan Putra Daerah, adalah Pernyataan Yang Menyakitkan dan Rasialis Primordial

Oleh : Ahmad Basri Pengamat dari K3PP Tubaba, Lampung
LINTASDESA | Tulang Bawang Barat – Pelantikan pejabat eselon II dan III di lingkungan Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) dikabarkan akan segera dilaksanakan. Proses uji kompetensi telah rampung. Seperti lazimnya dalam birokrasi rolling jabatan adalah hal yang wajar dan untuk penyegaran serta optimalisasi kinerja organisasi pemerintahan.
Dibalik itu penulis dikejutkan dengan pernyataan Bupati Novriwan Jaya yang terekam oleh salah satu awak media. Saat diwawancarai usai paripurna pengesahan APBD-P Tahun Anggaran 2025 di DPRD Tubaba (anakbangsanews, 6 Agustus 2025).
Dalam wawancara bupati menyatakan bahwa pengisian jabatan eselon akan diprioritaskan kepada pejabat lokal, bukan impor dengan kriteria utama yakni mengutamakan putra daerah.
Pernyataan tersebut bukan hanya problematis juga menyakitkan bahkan mengarah pada pemikiran rasialis primordial yang berbahaya. Jika dikaitkan dengan tafsir putra daerah sebagai kelompok etnis atau suku asli tertentu maka pernyataan itu telah melukai prinsip dasar kebangsaan.
Harus diingat bahwa uji kompetensi dalam birokrasi sejatinya diselenggarakan untuk menilai kapabilitas, profesionalitas dan integritas ASN dalam menduduki suatu jabatan. Itulah diadakan uji kompetensi.
Ketika hasil uji kompetensi keputusan akhirnya ditentukan oleh asal-usul kedaerahan, sukuisme maka meritokrasi sebagai fondasi utama reformasi birokrasi telah dilecehkan secara terang-terangan.
Apa artinya pelatihan dan peningkatan kapasitas bahkan loyalitas ASN terhadap negara jika pada akhirnya yang diutamakan adalah suku, asal daerah, atau identitas primordial lainnya? Apa gunanya uji kompetensi?
Tidak ada satu pun ketentuan dalam UU ASN, UU Pemerintahan Daerah, maupun regulasi kepegawaian lainnya yang menyebutkan bahwa penempatan jabatan struktural di daerah harus mengutamakan putra daerah.
Jika tetap dipaksakan maka pernyataan tersebut tidak hanya diskriminatif namun juga dapat dijerat dalam kerangka pelanggaran prinsip kesetaraan dan non diskriminasi sebagaimana diatur dalam konstitusi.
Harus dipahami penggunaan Istilah putra daerah adalah konsep yang rawan bias dan manipulatif. Penempatan jabatan berdasarkan ukuran sempit semacam ini hanya akan menghasilkan aparatur birokrasi yang loyal kepada pemimpin bukan kepada negara apalagi rakyat.
Tubaba adalah bagian dari Indonesia. ASN adalah aparatur negara bukan aparatur suku atau kelompok etnis. Mereka digaji oleh negara bukan oleh adat, marga, atau klan. Menutup peluang seseorang hanya karena bukan putra daerah sama saja dengan mengkhianati prinsip NKRI Pluralistik.
Pernyataan Bupati Novriwan seolah memperlihatkan pemahaman yang keliru terhadap konsep otonomi daerah. Otonomi bukan berarti menutup diri dan menciptakan feodalisme baru dalam birokrasi. Otonomi daerah berarti meningkatkan partisipasi lokal dan efisiensi dalam pelayanan publik.
Jika prinsip meritokrasi dikorbankan demi ego kedaerahan sukuisme putra daerah maka kita sedang menyaksikan kemunduran birokrasi ke zaman kolonial yang mengutamakan loyalitas sempit dibanding kemampuan.
Sekali lagi harus dicatat bahwa tubaba akan maju bukan karena pejabatnya putra daerah namun karena pejabatnya berintegritas, jujur dan profesional. (*)