Bandung Barat Selatan: Cahaya yang Tak Pernah Disambut

Catatan Redaksi Lintasdesa.com

Di selatan Kabupaten Bandung Barat, jalan-jalan berlobang tak hanya membahayakan pengendara, tapi juga memperlihatkan lubang lebar dalam tanggung jawab negara.

Di sana, di Kecamatan Cihampelas, Sindangkerta, Gununghalu, Rongga, Cipongkor dan Cililin, jalan poros desa dibiarkan retak, saluran irigasi mati, dan suara rakyat hanya memantul kembali ke dinding-dinding bisu birokrasi.

Wilayah yang mencakup lebih dari separuh luas Bandung Barat itu tak lebih dari ruang bisu dalam skema pembangunan kabupaten. Ia terlihat di peta, tapi luput dalam rencana anggaran.

Pemerintah Kabupaten Bandung Barat, lewat retorika pembangunan, gemar menyebut pemerataan sebagai prinsip. Namun prinsip itu rapuh dalam praktik. Anggaran infrastruktur tahun 2024 sebagaimana tertuang dalam APBD Kabupaten Bandung Barat tercatat sebesar Rp517,23 miliar, namun FORMADES, sebuah jaringan masyarakat desa yang menginsyafi kemiskinan struktural, mencatat hanya sebagian kecil yang menyentuh selatan.

Jalan kabupaten arah Pasir Waru ke Cijenuk , ke Malaka

Di Gununghalu, jembatan penghubung ke pasar tak kunjung diperbaiki sejak amblas tiga tahun lalu. Di Cihampelas, jalan sepanjang 17 kilometer lebih banyak dihuni lubang daripada aspal. Untuk menuju sekolah, anak-anak berjalan dalam lumpur. Untuk menuju Puskesmas, ibu-ibu hamil mesti naik ojek dua kali, membelah tikungan licin tanpa rambu.

Penghubung dua Kecamatan Gununghalu dengan Kecamatan Rongga. Persisnya jembatan tersebut terletak di perbatasan Dua Desa , lokasi Kampung Dukuh, RT 03/ RW 10, Desa Bunijaya dan Desa Cibedug, Kabupaten Bandung Barat, kini kondisinya sangat memprihatinkan, terlihat kondisi jembatan tersebut sudah mengalami rusak parah dan tidak layak digunakan lagi, Senin, (14/07/2025)

Sektor pertanian yang jadi urat nadi masyarakat dibiarkan bernapas pendek. Irigasi mangkrak, pupuk langka, harga gabah jatuh. FORMADES mencatat 60 persen petani di wilayah selatan menggantungkan hidup dari sawah tadah hujan.

Saluran air yang dibangun sejak 2005 kini tertutup bangunan liar atau menjadi tempat sampah. Menurut data Dinas Pertanian Kabupaten Bandung Barat, distribusi pupuk bersubsidi tahun 2024 memang tidak merata: dari total kuota 9.230 ton yang diterima, distribusi ke kecamatan selatan hanya menyentuh 12–15 persen saja, jauh dari proporsional. Itu pun kerap datang terlambat.

Baca Juga :  Apakah Kita Sudah Merdeka? Refleksi Memaknai Kemerdekaan di Bulan Agustus
Sawah tadah hujan dan jalan usaha tani yang jauh dari layak, serta tidak adanya saluran irigasi, di desa cicangkanghilir kecamatan cipongmor

Di lapangan, satu sak pupuk nonsubsidi dijual hingga Rp240 ribu, membuat banyak petani memilih tidak menanam. Karena di sini, bertani adalah cara menunda lapar, bukan mengejar untung.

Pendidikan tak kalah menyedihkan. Di Cililin, tiga SD negeri masih menggunakan papan tulis kapur. Atapnya bocor, lantainya retak. Guru honorer dibayar Rp300 ribu per bulan.

SDN 2 Cicangkang Hilir, Ruang toilet terbuka tanpa atap dan gudang sebelah perpustakaan terbakar

Di Gununghalu, satu dokter umum melayani empat desa. Posyandu hanya buka saat kunjungan Dinas. Selebihnya, desa-desa merawat dirinya sendiri. Negara seolah sekadar menyisakan papan nama di depan bangunan—tanda kehadiran yang kosong.

Laporan tahunan Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung Barat 2023 sendiri mengakui ketimpangan distribusi guru dan fasilitas sekolah yang cukup tinggi di wilayah selatan, namun belum ada tindak lanjut berbasis peta sebaran yang jelas.

Kultur dan keagamaan yang seharusnya menjadi pilar identitas selatan juga diabaikan. Ratusan pesantren berdiri tanpa dukungan serius. Sanggar-sanggar seni hidup dari dana iuran dan sumbangan warga. Tak ada anggaran rutin, tak ada pelatihan.

Ketika anak-anak muda di Sindangkerta mementaskan seni mamaos dan angklung gubrag, tak satu pun pejabat daerah datang menonton. Negara tak hadir sebagai penyokong, hanya sesekali mampir saat kampanye.

Semua itu disuarakan dalam forum yang digelar FORMADES pada 14 Juli 2025, di Saung Panglawungan, Cihampelas. Forum itu bukan kumpulan keluh kesah. Ia adalah konklaf rakyat. Apih Apung, pembina FORMADES, menyebut pertemuan ini sebagai penanda sabar yang telah mencapai batasnya.

Baca Juga :  Tanah Aceh Kota Serambi Mekkah nya Indonesia.

Agus Dadang Hermawan, sekretaris jenderal, menyatakan bahwa rakyat sudah cukup lama menunggu. Jika suara dari forum tak juga diindahkan, FORMADES akan membawa suara itu ke jalan.

Dari forum tersebut lahir sebuah pernyataan politik yang terang dan tajam. FORMADES mendesak pemerintah Kabupaten Bandung Barat untuk menetapkan kebijakan afirmatif bagi wilayah selatan secara tertulis dan terukur.

Mereka menuntut penghentian ketimpangan anggaran yang sistematis. FORMADES juga siap membentuk tim pemantau rakyat dan menempuh aksi publik terbuka bila tuntutan ini kembali diabaikan. Mereka tak meminta belas kasihan. Mereka menuntut keadilan yang dijanjikan dalam konstitusi.

Pernyataan itu adalah refleksi dari kenyataan yang tak bisa lagi disangkal. Bahwa Bandung Barat bukan hanya milik mereka yang tinggal dekat kantor bupati. Bahwa negara tak bisa terus hadir sebagai penyair pembangunan yang hanya berbicara lewat baliho dan gunting pita. Ketika rakyat bersuara dari desa-desa yang terpinggirkan, itu bukan semata karena mereka ingin bicara—tapi karena diam terlalu lama telah menjelma jadi luka.

Jika Bupati Jeje Rici Ismail dan Wakilnya Asep masih memandang selatan dari balik jendela kantor, mereka sedang bermain api. Cahaya dari selatan tak pernah padam. Ia menyala dalam kesunyian. Tapi jika terus dibiarkan tanpa tanggapan, cahaya itu bisa berubah menjadi bara. Dan bila rakyat mulai menyalakan api, itu bukan karena mereka ingin membakar. Tapi karena sudah terlalu lama mereka membeku dalam ketidakadilan.