Anak Muda, Ayo Kembali Ke Desa dan Bertani!
Oleh: Junaidi Farhan
Ketua Umum Forum Membangun Desa (FORMADES)

“Hanya petani yang menanam benih dengan setia di musim semi, yang akan menuai panen di musim gugur.”
“Ketika pengolahan tanah dimulai, seni lainnya mengikuti. Oleh karena itu, petani adalah pendiri peradaban manusia.”
Dua kutipan di atas menyiratkan makna mendalam: petani bukan sekadar profesi, melainkan fondasi dari kehidupan dan peradaban manusia itu sendiri. Namun kini, kita tengah dihadapkan pada kenyataan getir. Profesi yang seharusnya mulia ini justru ditinggalkan. Generasi muda semakin enggan menjadi petani. Sawah dan ladang di desa-desa mulai terbengkalai, sunyi ditinggal anak-anak mudanya yang memilih mengadu nasib ke kota.
Fenomena ini bukan sekadar soal pilihan karier, tapi juga persoalan masa depan bangsa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa petani muda—yang berusia di bawah 35 tahun—hanya berjumlah sekitar 12% dari total tenaga kerja sektor pertanian. Sementara mayoritas petani Indonesia kini berusia di atas 45 tahun. Regenerasi nyaris mandek. Jika ini terus berlanjut, siapa yang akan menanam padi, jagung, dan sayuran kita 20 tahun ke depan?
Kondisi ini tak muncul begitu saja. Ada banyak sebab yang menjelaskan mengapa anak muda enggan bertani. Banyak yang menganggap bertani adalah pekerjaan berat yang tidak menjanjikan. Akses terhadap teknologi dan infrastruktur pertanian masih terbatas. Pendapatan petani pun kerap tak menentu, dan jalan karier di bidang ini belum terlihat jelas. Bertani juga kerap dipersepsikan sebagai pekerjaan “jadul”, tidak keren, tidak modern, dan tidak cocok dengan gaya hidup digital. Belum lagi risiko akibat perubahan iklim dan minimnya akses pasar. Di atas itu semua, pendidikan pertanian yang relevan dengan kebutuhan zaman masih sangat langka.
Tapi justru dari kerumitan itulah kita bisa mulai membangun jawaban. Forum Membangun Desa (FORMADES) lahir dari kegelisahan kolektif anak-anak bangsa yang mencintai tanahnya, sekaligus prihatin melihat arah kehidupan desa dan sektor pertanian kita. Kami percaya, membangun Indonesia berarti membangun desa. Dan membangun desa tak mungkin dilakukan tanpa membangkitkan kembali semangat bertani di kalangan generasi muda.

Kami tidak sekadar menyerukan ajakan pulang kampung, tetapi juga menawarkan jalan yang konkret, modern, dan menjanjikan. Kami bergerak bersama masyarakat akar rumput, menggali kembali semangat gotong royong dan kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur, lalu menyambungkannya dengan inovasi dan teknologi masa kini.
Kami memperkenalkan berbagai teknologi pertanian modern kepada pemuda desa: dari drone pemantau tanaman, sensor kelembaban tanah, hingga aplikasi berbasis kecerdasan buatan yang membantu pengambilan keputusan dalam budidaya. Kami menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan yang kontekstual, menghadirkan petani-petani muda yang sukses sebagai mentor. Kami membuka ruang magang dan inkubasi usaha tani, agar anak muda tidak hanya bisa bertani, tapi juga membangun bisnis agraria yang tangguh.
Kami juga mendorong kampanye pertanian sebagai gaya hidup baru—yang sehat, mandiri, dan berkelanjutan. Di tengah tren urban farming, back to nature, dan kesadaran pangan sehat, bertani sesungguhnya sedang naik daun. Kami menghubungkan anak-anak muda tani dengan ekosistem digital dan pasar daring, memperkuat koperasi pemuda tani, dan membangun komunitas yang saling menopang satu sama lain.

Semua ini bukan mimpi. Ini sudah mulai terjadi. Di berbagai tempat, pemuda desa mulai menunjukkan bahwa bertani bisa menghidupi dan membanggakan. Data Kementerian Pertanian tahun 2024 menyebutkan bahwa Indonesia masih memiliki sekitar 7,4 juta hektare lahan sawah. Sayangnya, sebagian besar belum tergarap maksimal karena krisis tenaga kerja muda. Padahal, sektor pertanian tetap menjadi penyerap tenaga kerja terbesar—sekitar 28,2% dari total angkatan kerja nasional—dan tumbuh positif di tengah krisis global, menyumbang 12,9% terhadap Produk Domestik Bruto sektor primer pada kuartal pertama 2024.
Ini bukan angka kosong. Ini adalah sinyal kuat bahwa pertanian bukan masa lalu. Ia justru masa depan. Masa depan yang hanya akan hadir jika generasi mudanya mau turun tangan, kembali ke tanah, dan membangun dari akar.
Seringkali, kembali ke desa dianggap sebagai kemunduran. Padahal, sesungguhnya mereka yang memilih pulang dan bertani adalah mereka yang sedang melangkah jauh ke depan. Mereka sedang membangun kedaulatan pangan, memperkuat ekonomi lokal, dan merawat bumi secara langsung.
Kini waktunya kita mengubah cara pandang. Bertani bukan jalan terakhir bagi mereka yang gagal di kota, tapi jalan strategis bagi mereka yang ingin memberi arti lebih besar pada hidup dan bangsanya. Maka kepada kalian, para anak muda Indonesia—ayo kembali ke desa. Mari bertani, mari membangun negeri. Kami di FORMADES akan terus berjalan bersama kalian. (*)