Bulan Suro di Dlangin Kidul : Membaca Kebijaksanaan di Balik Tradisi

Oleh: Yoseph Heriyanto

Malam menua perlahan di langit Dlangin Kidul. Angin membawa aroma tanah basah dan asap kayu yang menggantung di udara. Di sebuah bale warga yang sederhana, cahaya temaram tak mampu mengusir seluruh gelap, tapi cukup untuk menyinari wajah-wajah yang datang membawa ceting nasi—bukan sekadar bekal, tapi persembahan syukur.

Bulan Suro tiba malam ini. 26 Juni 2025. Bertepatan dengan Jumat Kliwon. Bagi masyarakat Jawa, malam ini bukan malam biasa. Ini adalah malam di mana waktu seakan membelah kesibukan dunia, memberi ruang untuk hening.

Di sudut sisi sebelah selatan bale, seorang lelaki tua berbaju batik duduk bersila. Dialah Mbah Darmo, sesepuh dusun yang dihormati tak hanya karena umur, tetapi karena laku hidupnya yang teduh. Ia memimpin doa dengan suara yang mungkin mulai rapuh, tapi sarat makna.

“Gusti… mugi tansah pinaringan tentrem. Slamet lahir batin, Lestari bumi, lestari urip…”
(Semoga Tuhan selalu memberi ketentraman. Selamat lahir dan batin, Lestari bumi, lestari kehidupan)

Semua menunduk, hening, larut dalam irama doa. Tidak semua paham seluruh makna kata-kata Mbah Darmo, tapi semua merasakannya—suatu keteduhan yang lahir bukan dari kata, tapi dari niat yang jernih.

Usai doa, ceting nasi dibuka bersama. Nasi liwet, tahu-tempe, sayur, dan lauk pauk. Sederhana, tapi mengenyangkan. Sambil makan, percakapan pelan mulai mengalir.

Baca Juga :  Bandung Barat Selatan: Cahaya yang Tak Pernah Disambut

“Suro kuwi wektu kanggo mundur sithik saka rame urip. Ojo nganti urip mung mburu, nanging ora tau nyawang awake dhewe,” ujar Mbah Darmo saat berbincang seusai makan.
(Suro itu waktu untuk mundur sedikit dari ramainya kehidupan. Jangan sampai hidup sekedar memburu tetapi lupa melihat diri kita sendiri)

Di dekatnya, Mbah Trimo, petani tua yang telah puluhan tahun menjadi panutan warga, mengangguk pelan. Suaranya dalam dan bergetar oleh pengalaman.

“Kegiatan kaya ngene kuwi penting, Mas. Dadi pangeling. Anak-anak saiki wis kerep kelangan arah. Suro ngajari meneng, ngajari nyawang. Ora mung ndelok ndhuwur, tapi uga ndelok njero.” ujarnya.
(Kegiatan seperti ini penting, Mas. Menjadi pengingat, anak-anak sekarqng sudah sering kehilangan arah. Suro mengajari diam sejenak, mengajari melihat. Bukan hanya melihat ke atas, tetapi juga melihat ke dalam)
Meski didominasi generasi tua, malam Suro ini juga dihadiri anak-anak muda dusun. Di sudut bale, duduk Parno, yang ikut membawa ceting nasi dari rumah. Ia mengaku dulu merasa tradisi seperti ini “ndeso”, tapi sekarang mulai melihat sisi lain.

“Awalnya aku mikir, ngapain sih tiap tahun kumpul begini, doa-doa yang nggak ngerti artinya. Tapi pas aku diem dan denger Mbah Darmo doa, rasanya beda, ya… adem aja. Seakan dikasih tahu: hidup tuh jangan cuma mengejar dunia, tapi juga harus bisa melihat kedalam diri sendiri lwbih dalam.” ungkapnya.

Baca Juga :  Lintasdesa.com dan Rebutan Narasi Kebudayaan

Bulan Suro memang bukan ajakan untuk mundur dari kehidupan modern. Ia adalah ajakan untuk memberi ruang dalam diri—untuk diam, merenung, dan menyimak ulang arah hidup. Bahwa tidak semua hal harus segera dijawab. Bahwa jeda adalah bagian dari perjalanan.

Di kota, tradisi seperti ini mungkin telah digantikan oleh festival atau konten. Tapi di Dlangin Kidul, makna masih terawat: dalam langkah pelan menuju bale warga, dalam ceting nasi yang dibagi rata, dalam doa yang lirih dan keikhlasan yang tak butuh panggung.

Malam makin larut. Kabut turun perlahan, menyelimuti dusun. Namun kehangatan tetap terasa— dari kebersamaan, dari kesadaran bahwa hidup bukan tentang siapa yang tercepat, tapi siapa yang paling mampu menjaga makna.

“Le, nek urip mung digoleki rame, ra bakal entuk ayem. Tapi nek gelem nyawang batinmu dhewe, kono ono sing njaga,” (Nak, kalau hidup yang dicari hanya ramai, tidak akan mendapat kedamaian. Tetapi kalau mau melihat batin kita sendiri, di sana ada yang menjaga). Pesan Mbah Darmo sebelum pamit pulang.

Mungkin di tengah dunia yang gaduh, Bulan Suro adalah salah satu ruang suci yang masih tersisa—mengajak kita untuk tidak hanya hidup, tapi juga memahami kenapa dan untuk siapa kita hidup.