Membalik Narasi Tentang Desa Yang Tidak Lagi Menarik
Oleh Junaidi Farhan, Ketua Umum Forum Membangun Desa.

Pada tahun 2025, diperkirakan sekitar 68 persen penduduk Indonesia akan tinggal di wilayah perkotaan. Angka ini tidak hanya mencerminkan percepatan laju urbanisasi, tetapi juga memperlihatkan satu hal yang kerap luput kita sadari: semakin pudarnya daya tarik desa, terutama di mata generasi muda.
Migrasi dari desa ke kota seolah menjadi keniscayaan. Kota menjanjikan banyak hal—lapangan kerja, akses pendidikan, fasilitas kesehatan, dan gaya hidup modern. Sebaliknya, desa kerap dipersepsikan sebagai ruang yang tertinggal, lamban, dan minim masa depan. Narasi inilah yang harus mulai dibalik, pelan-pelan namun pasti, terutama oleh para pemangku kebijakan di tingkat pusat maupun daerah.
Pemerintah harus berpikir ulang dalam menempatkan desa bukan sebagai beban, tetapi sebagai ruang strategis pembangunan berkelanjutan. Potensi sumber daya alam yang melimpah, kearifan lokal yang terpelihara, serta masyarakat yang memiliki ikatan sosial kuat—semuanya adalah modal besar yang belum sepenuhnya dikelola secara visioner dan modern.
Untuk itu, pengelolaan desa harus diarahkan kepada upaya yang memberi ruang seluas-luasnya bagi sumber daya manusia desa. Penguatan kapasitas, akses terhadap teknologi tepat guna, serta pendampingan inovatif yang tidak menanggalkan akar budaya lokal adalah kunci untuk memutar arah arus urbanisasi.
Desa tidak kekurangan potensi. Di banyak tempat, kita bisa temukan keindahan alam yang belum tersentuh, budaya yang khas, ekonomi lokal yang beragam mulai dari pertanian, perikanan, kerajinan hingga wisata berbasis komunitas. Bahkan, kehidupan sosial yang guyub dan penuh toleransi adalah sesuatu yang kian langka di kota-kota besar.
Namun, potensi ini sering kali tidak terkelola karena berbagai tantangan nyata:
- Keterbatasan infrastruktur dan fasilitas publik,
- Minimnya akses pendidikan dan pelatihan vokasional,
- Kurangnya peluang kerja yang menarik,
- Terbatasnya koneksi digital dan informasi,
- Gaya hidup desa yang dianggap tidak relevan dengan cita-cita modern kaum muda.
Inilah yang membuat desa tampak “kurang menarik”. Tapi apakah benar desa tidak menarik, ataukah karena kita belum cukup serius menatanya?
Solusinya tidaklah sederhana, tapi sangat mungkin untuk dilakukan. Beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain:
- Mendorong lahirnya startup desa dan digitalisasi usaha mikro,
- Meningkatkan akses pendidikan vokasi yang sesuai kebutuhan industri masa depan,
- Memperkuat jaringan infrastruktur dan konektivitas digital,
- Menyuntikkan sentuhan modern dalam pelestarian budaya lokal,
- Mengembangkan ekowisata berbasis komunitas secara berkelanjutan,
- Menciptakan lapangan kerja lokal yang menjanjikan, terutama untuk anak muda,
- Meningkatkan fasilitas kesehatan, rekreasi, dan ruang publik di desa,
- Menumbuhkan komunitas desa yang inklusif, kreatif, dan partisipatif.
Semua ini harus dilakukan dengan pendekatan kolaboratif dan keberlanjutan. Bukan proyek instan, tetapi agenda jangka panjang yang berakar kuat di desa dan berorientasi pada masa depan.
Jika kita gagal membalik narasi ini, desa akan terus ditinggalkan, dan kota akan menanggung beban yang tak ringan akibat lonjakan migrasi, pengangguran, dan kemiskinan struktural. Namun jika kita berhasil, desa bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru yang adil, lestari, dan manusiawi.
Kini saatnya, desa tak lagi dipandang sebagai halaman belakang pembangunan. Desa harus menjadi halaman depan—ruang utama tempat harapan masa depan dibangun bersama.