Lintasdesa.com dan Rebutan Narasi Kebudayaan
Oleh: Yoseph Heriyanto.

Di tengah gegap gempita digitalisasi dan banjir konten metropolitan, kebudayaan desa sering kali menjadi sisipan yang terlupakan. Padahal, di sanalah—di lorong-lorong dusun, di antara tembang, sesaji, dan petuah lisan—Indonesia menyimpan inti jati dirinya.
Ironisnya, suara-suara dari desa lebih sering tenggelam dalam euforia pembangunan dan narasi-narasi besar dari pusat. Media hanya datang ke desa saat ada bencana, konflik lahan, atau saat musim panen padi bergelimang cerita sukses. Lalu hilang.
Di titik itulah, Lintasdesa.com menemukan relevansi dan urgensinya. Sebagai platform media lokal yang mengangkat isu-isu desa dari sudut pandang masyarakatnya sendiri, Lintasdesa.com berpotensi menjadi semacam “kantor berita budaya desa”—yang bekerja tidak semata-mata sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai penjaga ingatan, perawat identitas, dan penggerak partisipasi. Di tengah gelombang globalisasi, desa membutuhkan media yang bukan hanya menyuarakan, tetapi juga mengakar.
Bukan perkara mudah. Dalam medan media yang makin terpusat dan komersial, narasi-narasi desa kerap dianggap “kurang seksi”. Berita tentang sedekah bumi, ketoprak yang hanya dimainkan dua kali setahun, atau pelestarian bahasa ibu dianggap tidak relevan bagi algoritma. Lalu siapa yang akan mengangkatnya, kalau bukan media alternatif yang lahir dari dan untuk desa itu sendiri?
Kebudayaan tidak hanya hidup dalam candi dan naskah kuno. Ia hidup dalam sapaan di ladang, dalam pola tenun, dalam tata ruang kampung, dan dalam relasi antarmanusia. Inilah yang harus diangkat, didokumentasikan, dan disuarakan sebelum semuanya lenyap di tangan modernisasi yang abai.
Lintasdesa.com bisa menjadi penghubung antara yang tua dan muda, antara pewaris dan pelestari. Bisa menjadi ruang kritik yang jernih terhadap proyek-proyek pembangunan yang merusak ruang hidup warga. Bisa menjadi ruang belajar antar-desa: bagaimana satu dusun mempertahankan ritual adatnya, bagaimana desa lain membangun taman bacaan dari modal gotong royong.
Yang dibutuhkan kini adalah konsistensi dan keberanian. Konsistensi untuk terus menulis dan mendokumentasikan—sekalipun tidak viral. Keberanian untuk berpihak, terutama saat kebudayaan desa berhadapan dengan kekuatan ekonomi atau kekuasaan yang hendak menenggelamkannya.
Sebagaimana jurnalisme yang baik, media desa harus berangkat dari kegelisahan, berpijak pada kenyataan, dan terus mencari harapan. Dalam pengertian itulah, Lintasdesa.com lebih dari sekadar situs berita. Ia adalah simpul perlawanan terhadap pelupaan.
Dan di tengah zaman yang tergesa-gesa, perlawanan semacam ini, barangkali, adalah bentuk paling tulus dari cinta terhadap kebudayaan.