Melirik Sorgum Sebagai Solusi Keterpurukan Petani Singkong di Lampung

Gb. Ketum Formades (Junaidi Farhan) dengan latar belakang tanaman Sorgum dan Singkong

Oleh: Junaidi Farhan
Ketua Umum Forum Membangun Desa (FORMADES)

Di berbagai wilayah Lampung, para petani singkong sedang menghadapi musim terburuk dalam dua dekade terakhir. Harga singkong anjlok, biaya produksi meningkat, pupuk subsidi sulit diperoleh, dan iklim semakin tak menentu. Lahan-lahan yang dulu subur kini kehilangan daya hidupnya karena terlalu lama dipaksa mengikuti pola tanam yang seragam, tergantung pupuk kimia, dan dikendalikan pasar industri.

Kondisi ini bukan sekadar soal ekonomi. Ia adalah potret dari rapuhnya sistem pangan nasional yang terlalu bergantung pada satu atau dua komoditas unggulan, sementara keragaman pangan lokal terus terpinggirkan. Ketika singkong yang dulu disebut “emas putih” jatuh nilainya, petani tak punya pegangan lain. Maka pertanyaannya: sampai kapan kita menggantungkan nasib jutaan petani pada sistem yang terus menjerat mereka dalam ketergantungan?

Kondisi Terkini Singkong Indonesia: Produktivitas Tinggi, Harga Anjlok, Petani Tertekan

Untuk memahami lebih jauh akar krisis yang dialami petani singkong di berbagai daerah, khususnya di Lampung, penting meninjau kondisi faktual sektor ini di tingkat nasional. Data dan analisis berikut menunjukkan betapa struktur produksi dan pasar singkong yang timpang membuat petani terus terjepit, bahkan saat produktivitas meningkat.

Gb. Antrian kendaraan bermuatan singkong dan suasana demo para petani akibat anjloknya harga ubi kayu atau singkong

Menurut data resmi Kementerian Pertanian Republik Indonesia melalui Analisis Kinerja Perdagangan Ubi Kayu Tahun 2023, produksi singkong nasional pada tahun 2022 mencapai 15,7 juta ton dengan luas panen sekitar 602 ribu hektar, sehingga produktivitas rata-rata nasional berada di kisaran 26,17 ton per hektar. Dari angka tersebut, Provinsi Lampung menjadi penyumbang terbesar — 39,74% dari total produksi nasional, atau sekitar 5,95 juta ton.

Produktivitas Lampung bahkan tercatat lebih tinggi dari rata-rata nasional. Dengan luas panen sekitar 254 ribu hektar, produktivitas di daerah ini dapat menembus 29 ton per hektar, menjadikannya salah satu provinsi dengan capaian tertinggi di Indonesia.

Namun, tingginya produktivitas itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Sejak Desember 2024, harga singkong di tingkat petani merosot tajam. Berdasarkan keputusan bersama antara pemerintah daerah dan pelaku industri, harga dasar singkong bahan baku industri seharusnya Rp1.350–Rp1.400 per kilogram, dengan batas rafaksi maksimal 15%.

Faktanya, banyak perusahaan pengolah tapioka membeli singkong petani di bawah harga kesepakatan, bahkan hanya Rp600–Rp700 per kilogram, dengan rafaksi mencapai 30–40%. Padahal, biaya produksi rata-rata mencapai Rp740 per kilogram, belum termasuk biaya sewa lahan Rp2–4 juta per hektar per musim tanam. Artinya, sebagian besar petani mengalami kerugian bersih.

Jika dihitung dengan produktivitas 26–29 ton per hektar dan harga jual aktual di lapangan Rp600–Rp700/kg, maka pendapatan kotor petani hanya berkisar Rp15–20 juta per hektar, sementara biaya produksi mencapai Rp12–15 juta per hektar. Margin keuntungan nyaris nol bahkan negatif, terutama pada wilayah dengan kadar pati rendah yang terkena potongan rafaksi besar.

Baca Juga :  Opening Ceremony Porprov IX Jatim 2025 Hadirkan Gildcoustic, Cak Percil dan Arlida Putri.

Laporan Antara News (5 Januari 2025) menegaskan kondisi ini, menyebut harga singkong di tingkat petani “jatuh hingga Rp600 per kilogram, jauh di bawah biaya pokok produksi”, menyebabkan ribuan petani di Lampung dan Jawa Tengah mengalami kerugian berat.

Data-data ini menggambarkan satu hal: tingginya produktivitas tidak menjamin kesejahteraan, karena kebijakan harga dasar pemerintah tidak berjalan efektif akibat lemahnya pengawasan dan praktik rafaksi berlebihan yang merugikan petani.

Sorgum: Tanaman Kuno, Solusi Masa Kini

Di tengah krisis ini, sorgum muncul sebagai secercah harapan. Tanaman serealia asal Afrika ini sebenarnya bukan nama baru. Ribuan tahun lalu, sorgum telah menjadi pangan pokok di banyak peradaban kuno. Kini, ia kembali dibicarakan dunia — bukan sekadar karena ketahanannya terhadap kekeringan, tapi juga karena nilai ekonominya yang tinggi.

Data Kementerian Pertanian menunjukkan produktivitas sorgum nasional mencapai 2–3 ton per hektare, hampir setara dengan produktivitas dunia. Tanaman ini dikenal hemat air, tidak manja pupuk, dan relatif tahan hama. Secara nutrisi, sorgum kaya protein, serat, zat besi, magnesium, serta vitamin B kompleks. Karena tidak mengandung gluten, sorgum juga aman untuk penderita intoleransi gluten dan membantu mengontrol kadar gula darah.

Majalah Vogue bahkan menyebut sorgum sebagai “the new quinoa” — simbol pangan masa depan yang bergizi, adaptif, dan berkelanjutan.

Gb. Tanaman Sorgum dan tepung Sorgum untuk bahan olahan makanan, serta biji Sorgum ketan.

Mengapa Kita Perlu Melirik Sorgum?

  1. Tahan terhadap Krisis Iklim dan Biaya Produksi Rendah.
    Sorgum dapat tumbuh di lahan kering dan tandus tanpa banyak air, bahkan di tanah yang dianggap tidak produktif. Tanpa ketergantungan pada pupuk kimia, sorgum menjadi pilihan logis di tengah krisis iklim dan kelangkaan pupuk.
  2. Potensi Ekonomi yang Luas.
    Tidak ada bagian dari sorgum yang terbuang sia-sia. Bijinya untuk pangan, batangnya menghasilkan nira untuk gula dan bioetanol, daunnya untuk pakan, dan akarnya untuk bahan herbal. Dengan diversifikasi ini, sorgum membuka peluang usaha dari hulu hingga hilir — dari dapur rumah tangga hingga pabrik bioenergi.
  3. Pangan Kuno yang Terlupakan.
    Data FAO menunjukkan dari 300 ribu jenis tanaman yang bisa dimakan manusia, hanya sekitar 200 yang dikonsumsi, dan tiga di antaranya — beras, jagung, dan gandum — menyumbang hampir 60 persen kebutuhan kalori dunia. Ketergantungan ini rentan. Ketika salah satu terguncang, seluruh sistem pangan ikut tergoyang. Di sinilah sorgum hadir sebagai alternatif strategis.
  4. Sumber Energi Ramah Lingkungan.
    Batang sorgum manis dapat diolah menjadi bioetanol — bahan bakar nabati yang semakin dibutuhkan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Indonesia yang selama ini mengimpor gula dan bahan bakar nabati justru punya peluang besar jika mengembangkan sorgum sebagai basis energi pedesaan.
Baca Juga :  Candi Borobudur adalah salah satu Situs Warisan Dunia
Gb. Beberapa jenis olahan makanan dari biji Sorgum.

Kebijakan Pangan yang Terlambat Berubah

Sayangnya, kebijakan pangan kita masih berputar di lingkaran lama: beras, jagung, tebu, dan singkong. Pemerintah memang berbicara tentang diversifikasi, tetapi di lapangan, dukungan nyata bagi tanaman alternatif seperti sorgum masih minim.

Program riset, bantuan benih, dan jaminan pasar belum berjalan terintegrasi. Akibatnya, petani yang ingin mencoba menanam sorgum menghadapi ketidakpastian—tidak ada pembeli, tidak ada pendampingan, dan tidak ada kebijakan insentif. Paradigma pembangunan pertanian masih berorientasi pada industri besar, bukan pada kemandirian desa.

Pertanyaannya, sampai kapan kebijakan pangan akan berpihak pada korporasi besar yang menguasai rantai pasok, sementara petani terus dibiarkan berjudi dengan nasib di ladang-ladang mereka sendiri?

Dari Lampung, Harapan Itu Bisa Dimulai

Lampung memiliki modal besar untuk menjadi pionir diversifikasi pangan berbasis sorgum. Lahan kering yang luas, basis petani singkong yang sudah terbiasa dengan tanaman umbi, dan jaringan komunitas desa yang kuat adalah fondasi awal yang kokoh.

Yang dibutuhkan sekarang adalah kemauan politik: kebijakan afirmatif dari pemerintah daerah dan pusat untuk memberikan ruang bagi inovasi pangan alternatif.
Sosialisasi, riset varietas unggul, pelatihan budidaya, serta kemitraan dengan industri kecil dan menengah dapat menjadi langkah konkret.

Lebih dari itu, pengembangan sorgum juga sejalan dengan agenda nasional menuju kedaulatan pangan dan energi bersih. Dengan pendekatan yang tepat, Lampung tidak hanya bisa keluar dari krisis singkong, tapi justru menjadi contoh daerah yang berani mengubah arah pembangunan pertaniannya.

Gb. Ilustrasi kebahagian petani Sorgum

Saatnya Berani Berubah

Paradoks ini menunjukkan bahwa problem utama bukan terletak pada rendahnya kemampuan produksi petani, tetapi pada struktur tata niaga dan lemahnya posisi tawar mereka di hadapan industri pengolah. Selama mekanisme pasar masih dikuasai oleh segelintir korporasi dan pemerintah tidak hadir secara tegas, maka produktivitas tinggi tidak akan berujung pada kesejahteraan.

Krisis singkong ini juga menjadi alarm penting bagi arah kebijakan pangan nasional. Indonesia membutuhkan diversifikasi sumber pangan yang tidak hanya adaptif terhadap iklim dan tanah marginal, tetapi juga memberikan nilai tambah ekonomi bagi petani.
Di titik inilah, sorgum muncul sebagai alternatif strategis — bukan untuk menggantikan singkong, melainkan untuk membuka jalan baru menuju kedaulatan pangan yang adil dan berkelanjutan.


Editor: Redaksi Lintasdesa.com