Karena Jabatan atau Kepribadian Dirimu Dihormati

Oleh : Ahmad Basri Penulis dan pemerhati K3PP Tulang Bawang Barat
Rasa hormat seringkali memiliki harga. Kadang bisa “dibeli” dengan pangkat, jabatan, atau seragam. Banyak orang tiba-tiba menjadi “terhormat” bukan karena budi, melainkan karena kursi.
Namun, ketika jabatannya hilang, hilang pula penghormatan itu. Di situlah kita bisa menilai: sesungguhnya mereka dihormati karena apa? Fenomena semacam ini bukanlah hal baru.
Dalam banyak ruang sosial — mulai dari kantor pemerintahan, lingkungan masyarakat, hingga rumah ibadah — penghormatan lebih sering diarahkan pada simbol kekuasaan ketimbang pada kepribadian.
Orang menunduk bukan karena kagum, bisa jadi karena takut. Mereka mengangguk dan membungkuk bukan karena hormat, namun karena sedang berharap sesuatu.
Jabatan memang memberi legitimasi sosial dan ekonomi, tetapi tidak otomatis menghadirkan kehormatan moral. Seseorang bisa menduduki kursi tinggi karena sistem, namun tidak otomatis memiliki kepribadian yang layak dihormati.
Dalam banyak kasus, pejabat publik dihormati bukan karena kebijaksanaan, melainkan karena kewenangan. Mereka dihormati karena bisa menandatangani, bukan karena mau mendengarkan. Mereka dihormati karena bisa memberi proyek, bukan karena memberi teladan.
Jika jabatan dijadikan sarana mencari kehormatan, maka ia hanya akan menjadi topeng yang menutupi kekosongan moral. Begitu topeng itu lepas, wajah asli pun tampak — dan sering kali, pemandangan itu memilukan sekaligus memalukan.
Sebaliknya, orang yang dihormati karena kepribadian tidak memerlukan jabatan untuk menegakkan wibawa. Karakternya menjadi pangkatnya, dan ketulusannya menjadi kekuasaannya.
Kita bisa menemukannya di berbagai tempat: seorang guru yang sederhana, pemimpin yang rendah hati, petani yang jujur, atau tokoh agama yang konsisten. Mereka tidak memaksa orang menghormati, tetapi kepribadian mereka secara alami menumbuhkan penghargaan.
Kepribadian tumbuh dari nilai, bukan dari struktur kekuasaan. Ia lahir dari integritas, empati, dan ketulusan.
Pepatah Jawa mengatakan, “Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana” — bahwa harga diri seseorang ditentukan oleh ucapannya, bukan oleh jabatannya.
Kita hidup di masa ketika jabatan kian mudah kehilangan wibawa. Banyak pejabat yang dulu dielu-elukan kini menjadi tersangka korupsi karena perbuatan tercela. Banyak tokoh yang dulu disanjung kini menjadi bahan cibiran masyarakat. Mereka dihormati hanya selama berkuasa, bukan karena nilai moral yang melekat pada dirinya.
Kita sering lupa, hormat yang lahir dari rasa takut akan lenyap bersama kekuasaan. Tetapi hormat yang lahir dari keteladanan akan abadi — bahkan setelah seseorang tiada.
Pada akhirnya, semua kembali pada diri masing-masing: apakah kita ingin dihormati karena jabatan atau karena kepribadian.
Mereka yang mencari penghormatan lewat jabatan akan selalu gelisah, sebab jabatan bisa hilang kapan saja — diganti, dipecat, atau pensiun.
Namun mereka yang membangun penghormatan lewat kepribadian tidak akan kehilangan apa pun. Sebab yang mereka tanam bukan kekuasaan, melainkan kebaikan.
Editor: lintasdesa.com
