Jimbung Art Festival 2025: Dari Swadaya Warga, Tumbuh Ruang Ekspresi Anak Muda dan Budaya Lokal

LINTASDESA.COM, KLATEN – Jalanan kampung di Desa Jimbung, Kecamatan Kalikotes, tiba-tiba berubah wajah. Sepanjang gang utama disulap menjadi panggung seni terbuka dan deretan tenda UMKM yang memamerkan hasil olahan warga.

Anak-anak berlarian, para pemuda sibuk menata properti, sementara ibu-ibu menyiapkan jajanan tradisional. Di tengah kesederhanaan itu, lahirlah sebuah perayaan besar bernama Jimbung Art Festival 2025 — pesta budaya yang tumbuh dari swadaya dan cinta warga terhadap tanah kelahirannya.

Festival yang digagas oleh Paguyuban Muda-Mudi Purno Raya ini berlangsung selama tiga hari, dari 31 Oktober hingga 2 November 2025. Tak ada sponsor besar, tak ada dana dari luar — semua murni swadaya masyarakat.

Ada yang menyumbang beras, ada yang membawa bambu, bahkan ada yang memberikan hasil panen sebagai bentuk dukungan. Semua berpadu, menjadikan festival ini lebih dari sekadar hajatan seni; ia adalah simbol gotong royong dan kebanggaan desa.

Akbar Priambudi, Ketua Panitia Jimbung Art Festival

Di balik kesibukan panitia, sosok Akbar Priambudi tampak mengatur jalannya acara. Ia bukan hanya ketua panitia, tapi juga aktivis kampung sekaligus dosen arsitektur di Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY). Akbar menuturkan bahwa festival ini menjadi ruang bagi warga untuk mengekspresikan diri sekaligus mengenali kembali jati diri budayanya.

“Hari pertama ada pameran lukisan karya perupa lokal, hari kedua pentas seni budaya, dan hari ketiga kami tutup dengan pawai budaya serta senam budaya,” jelasnya. “Tantangan terbesar kami justru di awal — bagaimana menyatukan visi dan semangat warga. Tapi gotong royong membuat semua bisa berjalan.”

Pameran Lukisan Karya Perupa Lokal Desa Jimbung

Dari sudut lain, Padio, Kepala Desa Jimbung, memandang kegiatan ini dengan rasa bangga. Ia menyebut Jimbung Art Festival sebagai wujud nyata kreativitas anak muda yang layak diapresiasi dan didukung. “Anak-anak muda di Jimbung punya semangat luar biasa. Pemerintah desa tentu mendukung penuh kegiatan ini, karena mereka telah membuktikan bahwa membangun budaya tidak harus menunggu bantuan besar, tapi bisa dimulai dari kesadaran dan kebersamaan,” ujarnya.

Festival ini juga menghadirkan senam budaya, kegiatan unik yang menggabungkan olahraga dengan unsur gerak tari tradisional seperti beksan wanara dan tari topeng ireng. Menurut Aris Budi Pratomo, pembina kegiatan, senam budaya adalah cara sederhana namun efektif untuk mengenalkan kembali nilai-nilai budaya lokal kepada masyarakat.

“Gerakan tari bukan hanya seni, tapi juga cermin identitas. Kami ingin warga mencintai budaya mereka lewat cara yang menyenangkan,” katanya.

Di tengah semangat yang menggelora, Akbar berharap Pemerintah Kabupaten Klaten dan Dewan Kesenian Klaten bisa lebih membuka mata terhadap potensi seni di tingkat desa. Ia menekankan pentingnya dukungan bagi seniman-seniman muda yang belum dikenal publik.

“Selama ini yang diperhatikan sering kali mereka yang sudah punya nama. Padahal, di pelosok seperti Jimbung banyak bibit potensial. Kami ingin mereka juga punya ruang untuk tumbuh,” ungkapnya.

Mengusung tema “Mengenalkan Kembali Budaya Lokal dan Menggali Potensi Desa”, Jimbung Art Festival 2025 bukan sekadar perayaan seni. Ia adalah cermin bagaimana masyarakat desa, dengan segala keterbatasannya, mampu menciptakan ruang perjumpaan antara tradisi, kreativitas, dan kebersamaan.

Dan di bawah cahaya lampu minyak yang mulai menyala di malam penutupan nanti, Jimbung tak hanya akan menari dan bernyanyi — tapi juga meneguhkan satu hal: bahwa kebudayaan akan selalu hidup, selama masih ada yang mencintainya. (Hys)