“Emas Putih” dari Lereng Lawu Bangkitkan Harapan Petani

LINTASDESA.COM, KARANGANYAR — Dari kejauhan, barisan petani tampak menunduk di antara rumpun daun bawang yang mulai mengering. Di balik kesederhanaan pemandangan itu, sedang tumbuh optimisme baru: emas putih (baca: bawang putih) varietas Tawangmangu Baru kembali membangkitkan harapan petani Karanganyar.
“Produksi meningkat untuk tahun ini, dan harga di tingkat petani relatif stabil sehingga mereka bisa menikmati hasilnya, meskipun diawal panen raya harga sempat mengalami penurunan,” ujar Feriana Dwi Kurniawati, Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan (Dispertan PP) Kabupaten Karanganyar, kepada Lintasdesa.com.
Feriana menyebutkan, rata-rata hasil panen bawang putih di Karanganyar kini mencapai 10 ton per hektare — jauh di atas rata-rata nasional yang hanya sekitar 6 ton. Kenaikan itu, menurutnya, tak lepas dari ketekunan petani dan penggunaan varietas lokal unggul yang sudah terbukti adaptif di tanah lereng Lawu.
“Tawangmangu Baru punya siung besar, warna putih keunguan, dan cocok tumbuh di tanah remah di ketinggian di atas 1.000 meter. Selain itu, lebih tahan terhadap penyakit daun seperti Alternaria sp,” terang Feriana.
Varietas yang dikembangkan oleh petani lokal ini memang istimewa. Rata-rata panjang siungnya mencapai 2,5–3,5 cm, lebar 1,5–2,5 cm, dan hasil umbi kering bisa menembus 8–12 ton per hektare. Meski masih cukup peka terhadap hama Thrips dan Nematoda, petani setempat sudah mulai menemukan cara-cara alami untuk mengendalikannya.
Bagi warga lereng Lawu, terutama di Tawangmangu, Jatiyoso, Ngargoyoso, dan Jenawi, bawang putih bukan sekadar komoditas, tetapi bagian dari warisan agraris yang sudah melekat sejak lama. Dalam beberapa tahun terakhir, tanaman ini sempat terpinggirkan oleh arus impor dan harga yang tak menentu. Kini, perlahan tapi pasti, Karanganyar mulai menemukan ritme kebangkitannya.
Tahun ini, pemerintah daerah menargetkan pengembangan 15 hektare lahan bawang putih, seluruhnya menggunakan benih hasil produksi petani lokal. “Kami ingin memperkuat kemandirian benih. Petani Karanganyar sudah mampu memproduksi benih unggul sendiri tanpa harus bergantung dari luar daerah,” kata Feriana.
Langkah tersebut merupakan bagian dari peta jalan Kementerian Pertanian menuju swasembada bawang putih nasional 2028. Dalam roadmap itu, luas tanam nasional akan ditingkatkan dari 2.013 hektare pada 2025 menjadi 98.811 hektare pada 2028, dengan target produksi benih naik dari 8.052 ton menjadi 69.781 ton.
Feriana optimistis, Karanganyar bisa menjadi salah satu penyangga utama dalam misi besar itu. “Kami siap mendukung target nol impor bawang putih 2028. Potensi lahan, kemampuan petani, dan kebijakan pemerintah daerah sudah mulai selaras,” ujarnya.
Namun bagi petani, angka-angka itu bukan sekadar statistik. Yang mereka rasakan adalah napas kehidupan yang mulai stabil. Saat harga bawang putih di tingkat petani tidak lagi jatuh saat panen raya, dan hasil kerja keras mereka benar-benar dihargai.
Pemerintah Kabupaten Karanganyar bersama Kementerian Pertanian kini juga mendorong pasar lokal untuk lebih berpihak kepada produk petani. “Kami mengimbau pelaku kuliner, hotel, restoran, dan pasar modern agar membeli bawang putih dari petani lokal. Dengan begitu, sirkulasi ekonomi di daerah bisa terus berputar,” imbuh Feriana.
Di tengah kabut tipis yang turun perlahan dari puncak Lawu, para petani masih sibuk menjemur umbi-umbi bawang yang baru dicabut. Bau khas tanah basah bercampur aroma bawang menyebar di udara — menandakan musim panen yang penuh harapan.
Bagi mereka, setiap siung Tawangmangu Baru bukan hanya hasil panen, melainkan simbol keteguhan: bahwa di tanah yang keras, tangan-tangan yang sabar bisa menumbuhkan masa depan. (Ysp/tim)
