Membangun Sumber Daya Manusia; Jalan Panjang Menuju Kedaulatan Desa

tokoh desa
Yoseph Heriyanto

“Gerakan membangun desa tidak berhenti pada proyek fisik, melainkan harus berakar pada manusia—mencetak pemimpin lokal yang militan, berintegritas, dan berdaulat.”

Membangun desa sejatinya bukan sekadar menggulirkan program fisik—jalan makadam, jembatan, listrik, atau air bersih—melainkan soal membangun manusia desa yang berdaya, cakap, dan siap memimpin perubahan. Desa bukan lagi hanya objek pembangunan, tetapi harus menjadi subjek perubahan. Ketika desa kuat, kota tak lagi mendominasi; kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi tumbuh dari akar.

Realitas hari ini menunjukkan masih banyak kecacatan dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) di tingkat desa. Lebih dari 60% aparatur desa di Indonesia hanya lulusan SMA, dan sekitar 21% bahkan tidak menamatkan pendidikan formal (Antara News, 2023). Kondisi ini menggambarkan kesenjangan kapasitas kepemimpinan lokal terhadap kompleksitas persoalan desa masa kini—dari tata kelola anggaran hingga strategi ekonomi berbasis rakyat.

Jumlah desa di Indonesia mencapai 84.276 wilayah administratif (GoodStats, 2024). Angka besar ini menunjukkan bahwa medan utama pembangunan bangsa sesungguhnya berada di desa. Namun, investasi terbesar yang masih tertinggal justru adalah investasi pada manusia desa: kemampuan memahami konteks lokal, mengorganisir warga, menyusun strategi ekonomi rakyat, hingga membangun kepemimpinan yang militan dan berkarakter.

Kebijakan pemerintah memang mulai mengarah ke sana. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa) telah mengembangkan sistem informasi desa untuk memetakan persoalan pendidikan dan kesehatan (Kemendesa, 2024). Namun, pemetaan data semata tidak cukup. Dibutuhkan proses kaderisasi, pelatihan kepemimpinan, dan pembentukan budaya belajar kolektif di desa agar potensi lokal menjadi kekuatan nyata.

Kekuatan sejati bangsa tumbuh dari pinggiran. Desa harus menjadi pusat basis sosial dan ekonomi baru—tempat lahirnya pemimpin lokal yang militan. Pemimpin desa ideal bukan hanya administrator anggaran, tetapi penggerak kesadaran rakyat, pengawal kebijakan publik, dan pelopor perubahan moral. Kepemimpinan seperti ini lahir dari proses panjang: memahami sejarah, berakar pada rakyat, dan berani memperjuangkan kepentingan desa dengan cara yang cerdas dan bermartabat.

Pembangunan yang hanya berorientasi fisik tanpa pembenahan manusia akan melahirkan desa yang tampak maju tapi rapuh secara sosial, bergantung pada pusat, dan mudah goyah oleh perubahan kecil. Sebaliknya, jika manusia desa diperkuat—melalui pendidikan, literasi, dan organisasi warga—maka akan tumbuh ekosistem lokal yang mandiri, dengan ekonomi rakyat yang kokoh, solidaritas sosial yang hidup, serta kepemimpinan yang berpihak kepada kepentingan rakyat banyak.

Baca Juga :  Apa yang dilakukan oleh Formades?

Ambil contoh literasi. Pemerintah menargetkan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) mencapai 71,04 poin pada 2024, namun realisasi tahun 2022 baru mencapai 57,40 poin (Kemenko PMK, 2023). Rendahnya angka ini mencerminkan lemahnya budaya baca, berpikir kritis, dan belajar sepanjang hayat—terutama di pedesaan. Tanpa literasi, sulit membangun pemimpin yang mampu menganalisis dan mengambil keputusan strategis bagi masyarakatnya.

Tantangan lain muncul pada aspek produktivitas. Kajian E-Journal Causa (2022) menunjukkan bahwa rendahnya kualitas SDM menjadi faktor utama stagnasi ekonomi di daerah tertinggal. Sementara itu, rata-rata usia petani di Indonesia mencapai 52 tahun, dan hanya 8% berusia di bawah 35 tahun (Kementan, 2023). Tanpa regenerasi dan pendidikan kader desa, kemandirian pangan dan ekonomi rakyat akan terus melemah.

Dalam konteks inilah Forum Membangun Desa (Formades) menempatkan diri sebagai gerakan strategis—mengarahkan fokus pembangunan pada manusia desa. Formades tidak sekadar mengadvokasi kebijakan publik, melainkan mengorganisir, membina, dan melahirkan kader pemimpin lokal. Militansi yang dimaksud bukanlah sikap konfrontatif tanpa arah, tetapi tekad kuat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat desa, memahami konteks lokal, dan membangun tata kelola yang partisipatif dan berkeadilan.

Gerakan sejati harus dimulai dari desa, bukan “dari kota ke desa”, melainkan “dari desa ke kota”. Ketika desa dikuatkan, warga diberdayakan, dan pemimpin dibentuk dari akar, maka pusat kekuatan bangsa berpindah ke rakyat desa itu sendiri. Kota tidak lagi menjadi pusat tunggal pembangunan; ia akan bertransformasi menjadi mitra dalam sistem yang lebih adil dan berimbang.

Strategi besar pembangunan nasional semestinya menempatkan desa sebagai titik awal transformasi sosial, ekonomi, dan politik bangsa. Akhirnya, investasi terbaik bangsa ini bukan pada beton atau aspal, melainkan pada manusia. Ketika seorang pemuda desa paham haknya, mampu mengorganisir warga, dan berani memimpin, maka desa berubah menjadi laboratorium besar bagi transformasi sosial.

Baca Juga :  Korupsi Darurat di Wilayah Jawa Tengah

Pemimpin lokal tidak lahir dari warisan, tapi dari proses panjang pendidikan rakyat, kaderisasi, dan pengalaman kolektif. Kita kini berada di persimpangan: apakah pembangunan desa akan terus terjebak pada proyek fisik, ataukah kita memilih jalan membangun manusia desa?

Formades telah memilih yang kedua—karena perubahan sejati bukan tentang infrastruktur, melainkan tentang manusia yang mampu memimpin dirinya sendiri dan komunitasnya. Dalam semangat tersebut, Sapta Prakarsa Formades hadir bukan sekadar panduan program, tetapi doktrin praksis gerakan membangun desa yang berkarakter dan berdaulat. Ia menjadi kompas moral, strategis, dan organisatoris bagi seluruh kader Formades dalam mengarahkan tenaga dan pikirannya untuk perubahan desa dari bawah.

Tujuh pilar Sapta Prakarsa Formades mencerminkan pandangan bahwa pembangunan harus dimulai dari manusianya, bukan dari proyeknya:

  1. Kemandirian pangan dan ekonomi rakyat – memperkuat ekonomi berbasis potensi lokal dan koperasi warga.
  2. Pendidikan dan kebudayaan desa – menumbuhkan literasi, kesadaran kritis, serta pelestarian nilai-nilai luhur.
  3. Kepemimpinan dan kaderisasi – melahirkan pemimpin lokal yang militan, berintegritas, dan berpihak pada rakyat.
  4. Kesehatan dan kesejahteraan sosial – menegakkan kesadaran hidup sehat dan solidaritas sosial.
  5. Lingkungan hidup dan tata ruang berkelanjutan – menjaga sumber daya alam desa sebagai warisan generasi.
  6. Advokasi kebijakan publik – memperjuangkan hak desa melalui saluran hukum, politik, dan sosial.
  7. Konsolidasi gerakan rakyat desa – membangun kekuatan kolektif dari bawah agar desa menjadi subjek utama pembangunan nasional.

Melalui Sapta Prakarsa, Formades menegaskan kembali arah perjuangan gerakannya: desa bukan sekadar tempat, melainkan kesadaran baru tentang kedaulatan rakyat. Dari desa yang sadar, berdaya, dan terorganisir inilah perubahan sejati bangsa akan bermula.

Penulis: Yoseph Heriyanto
Ketua Litbang dan Inovasi DPP Forum Membangun Desa (Formades),
Pemerhati Kebijakan Publik dan Gerakan Sosial Pedesaan