Ketika Regulasi Gagal Menjamin Keadilan bagi Petani


Oleh: Yoseph Heriyanto, Pendiri Serikat Tani Bumi Intanpari–Aliansi Gerakan Reforma Agraria
Krisis pupuk di Indonesia seakan menjadi ironi di tengah negeri agraris yang seharusnya berpihak pada petani. Dalam situasi nasional saat ini, harga pupuk bukan lagi sekadar persoalan ketersediaan, melainkan masalah keterjangkauan. Banyak petani di berbagai daerah mengeluh karena pupuk bersubsidi yang seharusnya dapat dibeli sesuai ketentuan pemerintah justru melambung di tingkat kios. Di sejumlah tempat, pupuk bersubsidi dan non-subsidi dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Celakanya, sebagian agen bahkan menahan Kartu Tani yang semestinya menjadi alat kendali distribusi agar pupuk jatuh tepat sasaran. Semua ini menunjukkan bahwa kebijakan pupuk nasional masih rapuh di sisi pengawasan dan distribusi.

Padahal logikanya sederhana. Kenaikan harga pupuk secara langsung meningkatkan biaya produksi pertanian, dan itu berarti mengurangi keuntungan petani. Biaya produksi tidak hanya mencakup alat dan tenaga kerja, tetapi juga pupuk sebagai faktor penentu produktivitas. Jika harga pupuk naik tanpa kendali, petani akan kesulitan menutup biaya, sementara harga gabah dan komoditas lain tetap stagnan. Dalam jangka panjang, hal ini menggerus motivasi petani untuk bertahan di sektor pertanian dan mempercepat laju alih fungsi lahan.
Kondisi serupa tampak nyata di Kabupaten Karanganyar. Para petani di sejumlah kecamatan mengeluhkan harga pupuk bersubsidi yang kini mencapai Rp125.000 hingga Rp150.000 per sak, jauh di atas HET resmi yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp115.000 per 50 kg untuk Urea, Rp120.000 untuk NPK Phonska, dan Rp100.000 untuk SP-36. Lonjakan harga tersebut tidak hanya mencerminkan lemahnya pengawasan, tetapi juga menunjukkan adanya celah dalam sistem distribusi pupuk bersubsidi di tingkat bawah. Ironisnya, dalam banyak kasus, petani terpaksa membeli dengan harga tinggi demi menjaga tanaman agar tidak gagal panen.
Secara hukum, situasi ini sesungguhnya sudah diatur. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan HET Pupuk Bersubsidi, kios atau distributor yang menjual di atas HET dapat dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan izin. Namun, praktik tersebut juga berpotensi melanggar ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, khususnya Pasal 107, yang menyebut bahwa pelaku usaha yang memperdagangkan barang tidak sesuai dengan ketentuan harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah dapat dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp50 miliar. Selain itu, perbuatan menaikkan harga pupuk bersubsidi tanpa dasar hukum juga dapat dikategorikan sebagai praktik penimbunan atau penipuan harga sebagaimana diatur dalam Pasal 383 KUHP.
Lebih jauh lagi, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menegaskan bahwa negara wajib melindungi petani dari praktik ekonomi yang merugikan dan menjamin akses mereka terhadap sarana produksi pertanian dengan harga wajar. Sayangnya, penegakan hukum di lapangan masih jauh dari harapan. Banyak pelanggaran dibiarkan berlalu tanpa sanksi yang tegas, membuat hukum kehilangan daya gentarnya dan keadilan bagi petani sekadar menjadi jargon.
PT Pupuk Indonesia (Persero) dalam pernyataan resminya menegaskan bahwa harga pupuk bersubsidi harus dijual sesuai HET dan meminta masyarakat melapor jika menemukan penjualan di atas ketentuan. Perusahaan ini juga menyebut stok nasional relatif aman, dan masalah di lapangan sebagian besar disebabkan oleh penyimpangan distribusi. Namun, fakta di lapangan berbicara lain. Ketika laporan pelanggaran tidak ditindak, ketika agen tetap menahan Kartu Tani, dan ketika petani tetap harus membeli di atas harga resmi, maka semua pernyataan itu kehilangan makna substantifnya.
Persoalan pupuk sejatinya mencerminkan ketimpangan struktural dalam tata kelola pertanian nasional. Regulasi telah ada, tetapi belum benar-benar menjamin keadilan bagi petani sebagai pelaku utama produksi pangan. Tanpa perbaikan sistem distribusi, pengawasan tegas, serta keberanian menindak pelanggaran di tingkat kios dan agen, semua aturan itu hanya akan menjadi formalitas di atas kertas. Jika negara sungguh berpihak pada petani, maka keadilan harga pupuk bukanlah janji, melainkan kewajiban yang harus ditegakkan.