SUMBANGAN SUKARELA : Kenormalan yang Menyesatkan

Oleh : Muhamad Heru Priono
Kita tidak asing mendengar pepatah dalam bahasa Jawa “Jer Basuki Mowo Beo” yang arti sebenarnya adalah “Setiap kesuksesan atau keberhasilan (Jer Basuki) pasti memerlukan perjuangan atau pengorbanan (Mowo Beo) ” yang kemudian secara dangkal pengorbanan atau “beo” diartikan dengan biaya atau uang. Ketika tanpa beban, juga dinarasikan oleh orang orang yang harus dipercaya dan diteladani (digugu dan ditiru), kesalahan kecil pun menjadi kenormalan yang menyesatkan.
Dari hal kecil, untuk bisa berhasil mendapatkan surat surat dari satu instansi, sampai yang lebih besar untuk bisa mendapat pekerjaan, menjadi anggota dewan, menjadi aparat di pemerintahan, tingkat keberhasilannya harus ditentukan dengan kesiapan uang extra. Singkatnya, bahkan untuk menjadi pintar (sekolah) harus mengeluarkan uang.
Tidak ada yang meributkan, dari sinilah masalah bermula. Sesuatu yang kecil dianggap normal, lalu berkembang menjadi legitimasi untuk menyentuh hal yang lebih besar.
Memberi sedikit uang kepada “penentu keberhasilan” dipandang bukan sebagai suap, melainkan penghormatan. Memberi sumbangan sukarela yang ditentukan dari sekolah seperti kewajiban, para pahlawan tanpa tanda jasa tidak merasa bersalah.
Inilah yang membuat praktik itu bertahan. Namun kalau kita mau refleksi, bukankah ini sama saja dengan membiasakan diri membayar ekstra di luar aturan resmi? Kalau hal kecil dibiarkan, sulit berharap yang besar tidak akan mengikuti.
Minimnya pemahaman di satuan pendidikan.
Mirisnya, kenormalan yang menyesatkan ini justru tumbuh dengan subur di satuan pendidikan. Komite Sekolah dan Tenaga Pendidik gagal memahami program wajib belajar 12 tahun, dimana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dan mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan global, pemerintah memberikan kesempatan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan dasar yang berkualitas dengan gratis.
Larangan dan Sanksi
Dalam melakukan tugas dan fungsinya menyelenggarakan kegiatan pendidikan Satuan Pendidikan/sekolah telah didukung dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).
Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah (sekolah negeri) tidak diperbolehkan melakukan pungutan terhadap wali murid. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan No 44 Tahun 2012 Tentang Pungutan Dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Dasar. Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan No 44 Tahun 2012 Tentang Pungutan Dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Dasar menyatakan: Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah, dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan. Dan ditegaskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 : Putusan ini melarang segala bentuk pungutan di sekolah negeri, termasuk yang dibungkus dengan istilah “sumbangan komite sekolah”. Pendidikan dasar di tingkat SD dan SMP adalah gratis sepenuhnya, dan seluruh pembiayaannya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Kurangnya Sosialisasi
Kurangnya pengetahuan akan undang undang dan peraturan membuat orang tua siswa merasa bahwa pungutan dengan bungkus sumbangan sukarela ini adalah tindakan yang normal dan tidak masalah. Mereka terpaksa menyetujui karena dihantui kekhawatiran anaknya merasa tidak nyaman dan tidak percaya diri serta gangguan psikis lainya sehingga dapat mempengaruhi prestasi belajar mereka.
Solusi
Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan sosialisasi penegakan peraturan dan undang-undang yang lebih tegas. Satuan pendidikan yang melakukan pungutan dengan nama sumbangan sukarela harus diberikan sanksi yang tegas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan harus ditingkatkan.
Peran Orang Tua dan Masyarakat
Orang tua dan masyarakat perlu diberikan informasi yang jelas tentang peraturan dan undang-undang yang berlaku dan hak-hak mereka sebagai warga negara. Orang tua dan masyarakat juga perlu diajak untuk memantau dan mengawasi pengelolaan keuangan satuan pendidikan.
Dengan penegakan peraturan dan undang-undang yang lebih tegas dan peran orang tua dan masyarakat yang aktif, pungutan dengan nama sumbangan sukarela dapat diminimalisir dan satuan pendidikan dapat menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa untuk belajar.
Pendidikan Anti-Korupsi dan Keteladanan
Sekolah memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan moral siswa, termasuk dalam hal pendidikan anti-korupsi. Pendidikan anti-korupsi di sekolah dapat membantu siswa memahami nilai-nilai integritas, transparansi, dan akuntabilitas, serta membekali mereka dengan keterampilan untuk menghadapi tantangan korupsi di masa depan.
Pendidikan anti-korupsi dapat diintegrasikan di sekolah melalui :
Kurikulum (baik sebagai mata pelajaran tersendiri maupun sebagai bagian dari mata pelajaran lain) .
Kegiatan Ekstrakurikuler (dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler, seperti diskusi, debat, dan kegiatan sosial) .
Pembiasaan ( dilakukan melalui pembiasaan perilaku yang baik, seperti kejujuran, transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan akan peraturan )
Keteladanan ( menjadi salah satu cara paling efektif untuk membentuk karakter dan perilaku anak. Anak-anak cenderung meniru perilaku orang tua dan guru mereka, karena mereka percaya bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang yang mereka percayai adalah yang terbaik).
Orang tua dan guru harus menjadi contoh yang baik dan menunjukkan perilaku yang positif agar anak-anak dapat meniru dan mengembangkan.