Menembus Belenggu Negeri Setengah Jajahan, Setengah Feodal

Oleh : Heriyosh (Redaktur Pelaksana)

LINTASDESA.COM, Karang Anyar – Kita sedang hidup dalam sebuah negeri yang, meski tampak merdeka di permukaan, sejatinya masih terikat oleh rantai panjang penjajahan dalam bentuk baru.

Sebuah negeri yang disebut “setengah jajahan, setengah feodal” — istilah yang menggambarkan struktur sosial, ekonomi, dan politik yang timpang, di mana kekuasaan asing dan elit feodal domestik berpadu mempertahankan ketergantungan dan ketidakadilan.

Imperialisme hari ini tidak lagi datang dengan kapal perang dan meriam, melainkan dengan investasi, utang luar negeri, dan dominasi pasar global. Tanah, sumber daya alam, bahkan kebijakan nasional, perlahan digadaikan atas nama pembangunan dan modernisasi.

Kekuasaan modal asing menancap kuat dalam tubuh ekonomi bangsa, membuat rakyat hanya menjadi buruh di tanah sendiri, petani kehilangan lahan, dan nelayan tergilas oleh korporasi besar. Imperialisme kini berwajah lembut namun menghancurkan — menciptakan kemiskinan struktural dan ketergantungan abadi.

Di sisi lain, feodalisme tetap hidup dalam bentuk baru: para tuan tanah modern, pejabat lokal, dan elite politik yang masih memperlakukan rakyat kecil sebagai bawahan, bukan warga yang berdaulat. Struktur kepemilikan tanah yang timpang, relasi patronase yang menindas, serta birokrasi yang korup adalah warisan feodalisme yang terus diperpanjang. Rakyat desa, khususnya petani, tetap menjadi korban dari sistem yang tidak pernah benar-benar berpihak pada mereka.

Baca Juga :  Ketum Formades: "Yang Tidak Punya Tanah Itu Mbahnya Nusron"

Dan di antara keduanya, berdiri kekuatan ketiga yang tak kalah berbahaya: kapitalisme birokrat. Inilah wajah internal penjajahan — segelintir pejabat, pengusaha, dan elit politik yang memperkaya diri dengan memanfaatkan kebijakan negara. Mereka menjadi perantara antara modal asing dan kepentingan nasional semu, menjual kedaulatan rakyat demi proyek-proyek besar yang hanya menguntungkan segelintir orang. Kapitalisme birokrat adalah pengkhianatan dari dalam, yang membuat negara kehilangan arah dan rakyat kehilangan harapan.

Tiga musuh rakyat — imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme birokrat — adalah simpul yang saling menguatkan. Ketiganya mengekang tenaga rakyat, mematikan kemandirian, dan menghalangi lahirnya bangsa yang benar-benar berdaulat. Dalam cengkeraman itu, petani kehilangan tanah, buruh kehilangan upah layak, dan generasi muda kehilangan masa depan.

Jawaban dari semua persoalan itu bukanlah sekadar pergantian kekuasaan, bukan pula kosmetik kebijakan yang tampak populis di permukaan. Jalan keluarnya hanya satu: reforma agraria sejati dan industrialisasi nasional. Reforma agraria sejati berarti membongkar ketimpangan kepemilikan tanah, mengembalikan tanah kepada petani yang menggarapnya, dan membangun basis ekonomi rakyat di pedesaan. Tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi sumber kehidupan, martabat, dan kedaulatan rakyat.

Baca Juga :  Terseret Suap Zarof Rical, Ny. Lee dan Gunawan Jusuf Dicekal Kejagung

Sementara itu, industrialisasi nasional adalah upaya membangun kekuatan produksi sendiri, berbasis pada sumber daya dan tenaga kerja dalam negeri, di bawah kendali bangsa sendiri. Tanpa industrialisasi yang mandiri, bangsa ini akan terus menjadi pasar bagi produk asing, bukan produsen bagi kesejahteraan rakyatnya.

Perjuangan melawan imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme birokrat bukan sekadar wacana ideologis. Ia adalah kenyataan hidup sehari-hari jutaan rakyat yang tertindas. Karena itu, perjuangan rakyat harus terus digelorakan — di tanah-tanah yang dirampas, di pabrik-pabrik yang menindas, di desa-desa yang terpinggirkan, dan di jalanan tempat suara keadilan terus disuarakan.

Selama tanah masih dikuasai segelintir orang, selama kekayaan bangsa masih disedot keluar negeri, dan selama kekuasaan masih tunduk pada kepentingan modal, maka kemerdekaan sejati belumlah tiba. Dan selama itu pula, tugas sejarah rakyat Indonesia adalah menembus belenggu negeri setengah jajahan, setengah feodal — menuju Indonesia yang berdaulat atas tanahnya, berdiri di atas tenaganya sendiri, dan berdaulat dalam menentukan masa depannya.

“Umur panjang segala bentuk perjuangan pembebasan!!” (redpel**)