Mbah Dukut: Melawan Racun Bumi, Membangun Warisan Organik Di Tengah Krisis Pertanian Modern

KARANG ANYAR – LINTASDESA.COM ||
” Jika ingin sehat jangan racuni tanah”.
Kisah Mbah Dukut lebih dari sekadar seorang petani yang menolak pupuk kimia; ini adalah kisah pengabdian seorang pria yang setia pada tanah, demi kesehatan manusia dan kelestarian alam, sebuah mercusuar harapan di tengah kegelapan pertanian modern yang serakah.
Jumat (12/9/2025).
Mendung tipis menyelimuti Dusun Geneng di Plesungan, Karangpandan. Aroma ladang yang terbakar bercampur dengan keharuman rumput basah, menciptakan suasana pedesaan yang syahdu, dilengkapi dengan simfoni ayam dan burung dari kejauhan. Namun, di balik ketenangan itu, tersimpan pergulatan panjang seorang petani melawan arus.
Di teras sebuah rumah sederhana dengan kolam kecil yang air mancurnya menenangkan, seorang pria tua berjalan dengan tenang. Pakaiannya sederhana—celana pendek hitam dan kaos putih—mencerminkan etos kerjanya yang bersahaja.
Di balik kerutan di wajahnya, mata Mbah Dukut—panggilan akrabnya—berbinar dengan kejernihan seorang petani yang telah lama berjuang, seakan menyimpan keteguhan untuk sebuah perlawanan.
Dukut Nyoto Pawiro, nama lengkapnya, di usia 80 tahun tetap setia pada pertanian organik. “Abdi Bumilestari,” katanya, merujuk pada kelompok tani yang didirikannya. Bagi Mbah Dukut, “Abdi” berarti mengabdi pada tanah, memastikan kesuburannya untuk tanaman yang sehat dan makanan yang menyehatkan—sebuah antitesis terhadap praktik pertanian yang merusak.

“Jika tanah sehat, manusia juga sehat,” tambahnya, matanya menerawang ke kejauhan, penuh keyakinan, menunjuk pada korelasi yang sering diabaikan dalam sistem pangan modern.
Kesadaran ini muncul dari pengalaman pribadi yang pahit. Bertahun-tahun lalu, Mbah Dukut pernah jatuh sakit parah. Pengalaman itu membuka matanya: tubuhnya, seperti halnya tanah, telah terkontaminasi oleh makanan yang tidak sehat, hasil dari pertanian yang mengandalkan bahan kimia. Dia menyadari, masalahnya bukan hanya pada tanah, tapi pada seluruh rantai kehidupan yang diracuni.
“Saya memilih menanam yang sehat, agar hasilnya juga sehat,” kenangnya, sebuah keputusan radikal yang lahir dari krisis kesehatan pribadi dan keprihatinan mendalam terhadap lingkungan.
Perjalanannya mempelajari pertanian organik sangat panjang, dari Jember hingga ITB Bogor, memperdalam pengetahuan dan mengolah pengalaman. Setiap perjalanan adalah kesempatan untuk belajar dan memperkuat keyakinannya pada pertanian organik sebagai jalan hidup—sebuah solusi nyata terhadap degradasi lingkungan dan kesehatan.
Tahun 2008 menjadi titik balik ketika ia mulai membuat pupuk organiknya sendiri dari bahan-bahan lokal seperti urin kelinci, tetes tebu, teri tumbuk, dan kotoran ternak.
Dengan teknik fermentasi MOL (Mikroorganisme Lokal) yang dipelajarinya dari petani lain, ia menciptakan pupuk cair dan padat yang menyuburkan tanahnya, membuktikan bahwa ketergantungan pada pupuk kimia bisa dipatahkan.
“Urin kelinci adalah yang terbaik,” katanya sambil terkekeh, seolah berbagi rahasia yang telah terbukti, menantang dominasi produk-produk pabrikan.
Hasilnya memuaskan: panen stabil, sebanding bahkan seringkali melampaui sawah yang menggunakan pupuk kimia. Bedanya, tanah menjadi lebih gembur, tanaman lebih kuat, dan kesehatannya meningkat.
“Alhamdulillah, saya jarang sakit. Kalaupun pakai pupuk kimia, itu sangat sedikit, hanya untuk transisi,” ujarnya, sebuah testimoni nyata dari pilihannya yang berani.
Setelah bertahun-tahun menggunakan pupuk organik untuk padi dan sayuran, hasilnya sebanding dengan metode non-organik. Ia menanam padi merah, padi hitam, dan mentik susu.
“Nasinya pulen, tidak keras,” katanya. Sayuran dan cabainya juga tumbuh subur, tanpa residu kimia yang mengkhawatirkan.
Rutinitasnya sederhana: bangun pagi, pergi ke sawah, memeriksa tanaman, dan menyiapkan pupuk cair. Ia menyemprotkan pupuk cair setiap minggu selama sebulan setelah tanam, kemudian setiap dua minggu setelah 50 hari, menambahkan nutrisi khusus saat padi mulai bunting—semua dilakukan dengan tangan, penuh kesadaran.
Suatu hari, seorang petani muda bernama Rina datang mengunjungi Mbah Dukut. Rina adalah lulusan pertanian yang tertarik dengan metode organik, namun masih dibayangi oleh dogma pertanian konvensional.
“Mbah, saya dengar Mbah Dukut sudah lama bertani organik. Apa rahasia di balik keteguhan ini, dan bagaimana saya bisa mengikutinya di tengah tekanan pasar dan tuntutan hasil instan?” tanya Rina, penuh semangat namun juga keraguan yang mencerminkan dilema petani modern.
Mbah Dukut menatap tajam. “Rahasia? Tidak ada rahasia, Nduk. Ini soal pilihan. Pilihan untuk tidak meracuni bumi, pilihan untuk hidup sehat. Bertani organik itu bukan sekadar cara menanam, ini prinsip hidup yang harus dipegang teguh. Ini adalah perlawanan terhadap sistem yang merusak.”
“Tapi, Mbah, banyak yang bilang pupuk kimia itu lebih praktis dan hasilnya instan. Petani butuh keuntungan cepat untuk bertahan hidup,” Rina mencoba menguji, mencerminkan keraguan banyak petani muda yang terperangkap dalam siklus produksi massal.
Mbah Dukut menghela napas, bukan karena lelah, tapi karena keyakinan yang mendalam. “Praktis? Instan? Itu hanya ilusi, Nduk. Pupuk kimia memang mempercepat panen, tapi ia membunuh tanah, meracuni air, dan pada akhirnya, meracuni kita sendiri. Apa gunanya hasil melimpah jika bumi kita sekarat dan tubuh kita sakit-sakitan? Itu bukan kemajuan, itu kehancuran! Itu adalah jebakan yang harus kita hindari!” Suaranya meninggi, penuh penekanan. “Tanah itu bukan alat, dia adalah ibu yang harus dihormati dan dijaga! Jika kita terus memperlakukannya sebagai mesin, kita akan menuai bencana.”
Rina terdiam, tergugah oleh ketegasan Mbah Dukut. “Saya mengerti, Mbah. Lalu, apa langkah pertama yang harus saya ambil jika ingin benar-benar berubah dan keluar dari jebakan itu?”
“Langkah pertama adalah niat yang kuat. Setelah itu, belajar. Jangan hanya ikut-ikutan. Pelajari tanahmu, pelajari bahan-bahan alami di sekitarmu. Buat pupukmu sendiri. Jangan takut gagal, tapi takutlah jika kau terus merusak bumi dengan tanganmu sendiri. Ini bukan pilihan, Nduk, ini adalah tanggung jawab yang mutlak! Ini adalah jalan satu-satunya menuju keberlanjutan yang sejati!” Mbah Dukut menegaskan, pandangannya lurus dan tak tergoyahkan.
Lebih dari 15 tahun, Mbah Dukut tetap berpegang pada prinsipnya. Baginya, bertani lebih dari sekadar panen; ini tentang merawat kehidupan, sebuah kewajiban moral dan perlawanan terhadap sistem yang meracuni.

“Jika ingin sehat, jangan racuni tanah. Tanah adalah ibu kehidupan. Petani tidak hanya mencari hasil, tetapi juga menjaga warisan bumi. Organik bukan tren, tetapi kebutuhan mendesak untuk masa depan. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri dan generasi mendatang dari kehancuran ekologis dan kesehatan, ” tegasnya, tanpa keraguan.
Mbah Dukut melihat pertanian organik sebagai jalan hidup holistik. Tanah, air, udara, dan manusia adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Meracuni tanah berarti merusak tanaman dan kesehatan manusia—sebuah lingkaran setan yang harus diputus.
Sebaliknya, merawat tanah dengan kesadaran dan ketekunan menghidupkannya kembali, memberikan kehidupan yang sehat bagi tanaman dan memperkuat tubuh manusia—sebuah siklus kebaikan yang harus kita perjuangkan.
“Organik bukan hanya tentang sawah, tetapi tentang hidup itu sendiri,” katanya lembut, namun penuh kekuatan, menegaskan filosofi yang sederhana namun mendalam, sebuah seruan untuk kembali pada kearifan lokal.
Desi / Yoseph