Dari Desa, Kita Belajar Bernapas: Editorial Rembuk Kebudayaan FORMADES 2025

Lintasdesa.com, Bandung Barat – Suara kendang dan hentakan kaki para pesilat membuka Rembuk Kebudayaan dan Silaturahmi Nasional FORMADES 2025 di Desa Bongas, Cililin, Bandung Barat, akhir Agustus lalu. Bukan sekadar pertunjukan seni bela diri, tetapi penanda bahwa pembangunan bangsa harus berakar pada budaya, bukan hanya pada beton dan angka pertumbuhan ekonomi.
Forum Membangun Desa (FORMADES) sengaja memilih Bongas sebagai tuan rumah. Desa ini masih menyimpan tradisi pencak silat yang hidup, sekaligus geliat ekonomi lokal yang bertumpu pada kebudayaan. Pesan simboliknya jelas: dari tradisi, lahir ketahanan. Dari kebudayaan, lahir masa depan.
Desa Bukan Lagi Objek
Sudah terlalu lama desa dipandang sebagai objek pembangunan—menunggu program dari pusat, menerima bantuan, lalu menyesuaikan diri dengan kebijakan yang kerap asing. Padahal, desa sesungguhnya adalah pusat peradaban. Dari desa lahir gotong royong, solidaritas, musyawarah, hingga penghormatan terhadap alam. Nilai-nilai yang kini kerap tergerus justru menjadi modal utama bangsa bertahan menghadapi krisis.
Rembuk ini mengingatkan kita semua: desa bukan halaman belakang Indonesia, tetapi fondasi rumah besar bernama republik.

Filosofi Pencak Silat, Filosofi Pembangunan
Ada yang unik dalam forum ini. Filosofi pencak silat dijadikan cermin pembangunan desa.
- Usik (gerak) mengajarkan bahwa setiap langkah harus terencana, seperti pembangunan desa yang mesti berlandaskan perencanaan matang.
- Luhung (luhur) mengingatkan bahwa kekuatan harus digunakan untuk tujuan mulia, seperti transparansi dana desa.
- Waluya (sejahtera) menekankan bahwa kesejahteraan tidak hanya ekonomi, tapi juga sosial dan lingkungan.
- Anu Sajati (yang sejati) mengajarkan bahwa hidup yang bermakna adalah memberi manfaat.
Pencak silat bukan sekadar olahraga tradisional, tapi juga filsafat hidup. Dan dari sinilah desa mendapat inspirasi: pembangunan harus memberi makna, bukan sekadar angka.

Dari Manifesto ke Aksi Nyata
Rembuk FORMADES 2025 melahirkan Manifesto dan Resolusi Nasional. Manifestonya sederhana tapi tegas: desa adalah pusat kebudayaan, pembangunan tidak boleh mengabaikan tradisi, ekonomi desa harus digerakkan tanpa mengorbankan kearifan lokal, dan generasi mudalah pewaris kebudayaan. Resolusinya lebih konkret: mendesak budaya jadi arus utama pembangunan, melindungi warisan budaya dari komersialisasi, membangun jejaring nasional desa budaya, hingga mendorong pendidikan berbasis tradisi.
FORMADES juga meluncurkan Sapta Prakarsa, tujuh program besar yang menyentuh isu-isu fundamental: kedaulatan politik desa, keadilan agraria, ekonomi rakyat, kebudayaan dan pengetahuan lokal, kedaulatan pangan, keadilan sosial, hingga gerakan nasional desa. Ringkasnya, FORMADES ingin membalik peta pembangunan: dari desa untuk Indonesia, bukan sebaliknya.
Desa Mengajarkan Bernapas
Apa makna semua ini bagi kita? Editorial ini ingin menegaskan satu hal: desa mengajarkan kita cara bernapas. Bernapas dengan budaya, bukan hanya dengan beton. Bernapas dengan solidaritas, bukan hanya dengan kompetisi.
Pembangunan tanpa budaya ibarat tubuh tanpa jiwa: mungkin berdiri, tapi rapuh. Indonesia bisa membangun jalan tol, bendungan, dan bandara, tetapi tanpa desa yang kuat, bangsa ini akan kehilangan napas panjangnya.

FORMADES telah membuka jalan: menempatkan budaya sebagai fondasi, menjadikan desa sebagai pusat gagasan, dan mengingatkan bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh akar yang kita rawat.
Kini, tugas kita semua—pemerintah, akademisi, media, masyarakat sipil, dan terutama generasi muda—untuk memastikan gagasan ini tidak berhenti di atas kertas. Dari desa yang berbudaya akan lahir bangsa yang beradab. Dari desa yang berdaulat akan tumbuh Indonesia yang bermartabat.
Desa sudah memberi kita pelajaran. Pertanyaannya: apakah kita mau mendengar? (Redaktur***)