Hadiah Kemerdekaan RI ke 80 Untuk Rakyat

LINTASDESA | Redaktur – Kemerdekaan ke-80 Indonesia seharusnya menjadi momen bagi negara menepati janji kesejahteraan rakyat. Namun, kenyataannya, yang diterima rakyat justru deretan beban baru. Di tengah sulitnya daya beli dan biaya hidup yang terus melonjak, para wakil rakyat di Senayan justru menghadiahi diri mereka sendiri dengan kenaikan tunjangan menggiurkan.

Kini, seorang anggota DPR bisa mengantongi lebih dari Rp100 juta per bulan, setelah mendapat tunjangan rumah Rp50 juta sebagai pengganti rumah dinas. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai langkah ini sebagai pemborosan anggaran, dengan potensi menguras APBN hingga Rp2 triliun dalam satu periode. Bagi rakyat kecil, angka itu bukan hanya mencolok mata—tapi juga mengiris nurani, sebab uang yang mestinya bisa dialokasikan untuk kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial justru digelontorkan untuk kenyamanan segelintir elite.

Sementara itu, masyarakat dihadapkan pada kenaikan beban fiskal. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12%, iuran BPJS Kesehatan meningkat, program Tapera mulai memangkas gaji pekerja, dan cukai baru diberlakukan pada minuman berpemanis maupun rokok. Celios menghitung, kelompok miskin dan rentan harus menanggung tambahan pengeluaran hingga Rp100–350 ribu per bulan akibat rangkaian pungutan ini. Ironisnya, uang yang diambil dari kantong rakyat ini seakan dipakai untuk menambah kenyamanan wakil rakyat yang duduk di kursi empuk Senayan.

Beban itu kian terasa di daerah. Di Kabupaten Pati, misalnya, masyarakat dikejutkan dengan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang melonjak drastis. Petani, pedagang kecil, hingga pensiunan di desa harus memutar otak mencari tambahan uang demi menebus lembar tagihan pajak yang nilainya naik dua sampai tiga kali lipat. Apakah keadilan fiskal memang harus dibayar dengan memeras keringat rakyat kecil sementara para wakilnya hidup mewah dari pajak yang sama?

Kesenjangan ini menciptakan paradoks yang sulit diterima nalar sehat. Negara begitu tegas memungut, tapi begitu lunak memberi kelonggaran untuk dirinya sendiri. Rakyat ditekan untuk membayar lebih, sementara DPR menaikkan tunjangan tanpa rasa malu. Jika kondisi ini dibiarkan, jurang kepercayaan antara rakyat dan wakilnya akan semakin dalam—dan jangan salahkan rakyat bila kelak mereka memandang parlemen bukan lagi sebagai lembaga perwakilan, melainkan simbol pengkhianatan.

Kemerdekaan seharusnya dirayakan dengan menegakkan keadilan sosial, bukan mempertebal privilese elite. Dan jika hadiah kemerdekaan tahun ini adalah tunjangan DPR yang membengkak sementara rakyat dicekik pajak, maka jelas: kemerdekaan itu salah alamat.

“Dirgahayu Republik Indonesia”

(Redaktur Pelaksana: Heriyosh)