Nusron Wahid dan Kekeliruan Fatal Memahami Negara

Oleh: Yoseph Heriyanto

LINTAS DESA | Jakarta -;Pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid baru-baru ini memicu polemik publik. Dalam sebuah pernyataan yang dikutip Pikiran Rakyat (9 Agustus 2025) dan NTVNews (8 Agustus 2025), Nusron mengatakan:

Tanah itu tidak ada yang memiliki, tanah itu milik negara. Orang itu hanya menguasai karena negara memberikan hak kepemilikan… Tapi ini tanah mbah saya, leluhur saya… emang mbah atau leluhur bisa membuat tanah?”

Pernyataan ini terdengar lugas, tetapi secara hukum, sejarah, dan filosofi bernegara, ia keliru besar. Nusron tidak hanya mengaburkan makna “hak menguasai” oleh negara dalam konstitusi, tetapi juga menghapus akar sejarah hak rakyat atas tanah. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kata “dikuasai” di sini tidak berarti dimiliki mutlak oleh negara. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 001-021-022/PUU-I/2003 telah menegaskan bahwa hak menguasai negara adalah mandat publik (public trust doctrine), di mana negara bertindak sebagai pengelola, bukan sebagai pemilik absolut. Jika tafsir Nusron dipakai, negara akan berubah menjadi tuan tanah raksasa dan rakyat sekadar penyewa di tanah kelahirannya sendiri—sebuah logika feodal yang berbahaya.

Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960) pun secara tegas mengakui Hak Milik sebagai hak terkuat dan terpenuh atas tanah yang dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia. Pasal 20 ayat (1) menyebut bahwa hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan tetap mengingat fungsi sosialnya.

Pasal 6 UUPA memang menegaskan bahwa setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial, namun fungsi ini tidak pernah dimaksudkan untuk menghapus hak milik itu sendiri. Logika Nusron yang memandang hak milik sebagai sekadar “izin sementara” bertentangan langsung dengan prinsip hukum agraria nasional yang lahir untuk menghapus warisan kolonial dan feodal.

Pernyataan tersebut juga mengabaikan fakta sejarah bahwa tanah-tanah yang kini disebut “milik negara” pada hakikatnya telah dihuni, digarap, dan dijaga oleh komunitas lokal sejak berabad-abad sebelum negara Indonesia berdiri. Hak-hak itu dikenal sebagai hak ulayat atau hak adat, yang diakui secara eksplisit oleh Pasal 3 UUPA, selama masih ada dan sesuai dengan kepentingan nasional.

Dengan meremehkan klaim tanah warisan leluhur—“emang mbahmu bisa bikin tanah?”—Nusron menutup mata terhadap kenyataan bahwa leluhur memang tidak menciptakan tanah, tetapi merekalah yang mempertahankannya dari perampasan, membuka lahan, mengolahnya, dan menjadikannya ruang hidup bagi generasi penerus.

Lebih jauh, logika ini mempertegas analisis klasik bahwa Indonesia masih terperangkap dalam struktur negara setengah jajahan dan setengah feodal. Sebagai setengah jajahan, negara memang berdaulat secara formal, tetapi kebijakan ekonominya tunduk pada kepentingan modal asing dan lembaga internasional. Sebagai setengah feodal, pola penguasaan tanah tetap hierarkis: tanah dikuasai oleh segelintir elite atau negara, sementara mayoritas rakyat menjadi penggarap tanpa kepastian hak.

Pernyataan Nusron yang menempatkan negara sebagai pemilik absolut tanah adalah cerminan mentalitas feodal yang melanggengkan ketimpangan agraria. Dan ketika negara bersekutu dengan modal besar untuk menguasai lahan atas nama “hak negara”, sifat setengah jajahan itu pun semakin menonjol.

Pandangan semacam ini berbahaya karena dapat menjadi legitimasi bagi negara untuk merampas tanah rakyat atas nama kepemilikan negara, persis seperti yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui Agrarische Wet 1870. Kala itu, tanah ditempatkan sebagai milik mahkota, dan rakyat pribumi hanya dianggap penyewa.

Perbedaan mendasar antara Indonesia merdeka dengan rezim kolonial terletak pada pengakuan dan perlindungan hak rakyat atas tanah. Jika perbedaan ini dihapus, kita sedang melangkah mundur ke masa ketika rakyat tidak berdaya di hadapan kekuasaan tanah negara.

Di titik inilah penting untuk mengingat bahwa imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme birokrat sejatinya adalah tiga musuh utama rakyat yang harus dilawan. Imperialisme merampas sumber daya untuk kepentingan asing, feodalisme mempertahankan struktur penguasaan tanah yang timpang, dan kapitalisme birokrat memanfaatkan kekuasaan negara untuk keuntungan segelintir pejabat dan kroninya.

Pernyataan Nusron, beserta arah kebijakan reforma agraria yang lebih berpihak pada kepentingan elite dan modal besar ketimbang rakyat, berpotensi memperkuat tiga musuh tersebut. Alih-alih membebaskan rakyat dari belenggu ketidakadilan agraria, logika dan kebijakan semacam ini justru mengukuhkan struktur penindasan yang telah lama bercokol.

Seorang menteri yang mengurusi pertanahan wajib memahami bahwa negara bukanlah pemilik tanah, melainkan pengelola mandat rakyat. Mengatakan rakyat hanya meminjam tanah adalah pelecehan terhadap konstitusi, UUPA 1960, sejarah perjuangan agraria, dan prinsip kedaulatan rakyat itu sendiri. Leluhur kita mungkin tidak menciptakan tanah, tetapi mereka menciptakan ruang hidup, komunitas, dan keberlangsungan yang menjadi dasar berdirinya negara ini.

Tanpa mereka, tidak akan ada negara yang kini diklaim berhak atas seluruh tanah. Dan selama pandangan seperti Nusron ini dibiarkan, Indonesia akan terus terjebak dalam status negara setengah jajahan dan setengah feodal—merdeka di atas kertas, namun terbelenggu dalam praktik kekuasaan yang meminggirkan rakyat dari tanahnya sendiri.