Apakah Kita Sudah Merdeka? Refleksi Memaknai Kemerdekaan di Bulan Agustus

Apakah Kita Sudah Merdeka?

Apakah Kita Sudah Merdeka? Refleksi Memaknai Kemerdekaan di Bulan Agustus

Oleh Yoseph Heriyanto

Setiap bulan Agustus, bendera Merah Putih berkibar di setiap sudut negeri. Lagu-lagu perjuangan berkumandang, upacara digelar, dan pidato demi pidato disampaikan dengan penuh semangat. Namun di balik gegap gempita perayaan, ada satu pertanyaan yang seharusnya tak pernah kita lupakan: Apakah kita benar-benar sudah merdeka?

Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah tonggak sejarah yang memutus rantai penjajahan fisik bangsa ini. Namun, para pendiri bangsa tidak pernah memaknai kemerdekaan sebatas pergantian penguasa dari asing ke pribumi. Mereka membayangkan sebuah negeri yang berdaulat secara politik, berdiri tegak secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Itulah yang terkandung dalam cita-cita Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945.

Delapan dekade lebih telah berlalu. Benar, kita tidak lagi tunduk pada komando penjajah berseragam asing. Tapi apakah rakyat sudah lepas dari penjajahan bentuk baru? Apakah petani sudah berdaulat atas tanah dan hasil panennya? Apakah buruh sudah merdeka dari upah murah dan ketidakpastian kerja? Apakah sumber daya alam kita benar-benar dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, atau justru menjadi komoditas yang dikuasai segelintir elit dan korporasi global?

Baca Juga :  159 Juta Penduduk Miskin di Indonesia? Ini Faktanya

Realitas di lapangan menunjukkan jurang yang dalam. Petani terus terhimpit oleh biaya produksi yang kian tinggi—pupuk, benih, sewa lahan, ongkos tenaga kerja—sementara harga jual panen mereka ditekan sedemikian rupa oleh pasar yang dikuasai tengkulak dan korporasi besar. Selisih antara keringat yang dicurahkan dan nilai yang diterima semakin melebar; kelebihan nilai itu mengalir ke kantong-kantong pemilik modal, meninggalkan petani dengan keuntungan yang tak sebanding dengan kerja kerasnya. Inilah bentuk penghisapan yang tidak lagi memerlukan cambuk atau rantai, melainkan sistem ekonomi yang menguntungkan segelintir pihak.

Kita juga melihat potret yang memilukan di Maumere. Lahan-lahan adat yang menjadi sumber penghidupan masyarakat tergusur demi proyek-proyek skala besar. Warga yang selama turun-temurun menjaga tanah dan hutan kini dipaksa pergi, sementara janji kesejahteraan berganti menjadi ketidakpastian dan kehilangan. Mereka yang dulu merdeka mengelola tanahnya kini menjadi buruh di tanah yang pernah mereka miliki. Kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyak wajah “penjajahan modern” yang menyaru dalam balutan pembangunan.

Merdeka sejati berarti rakyat bebas dari rasa lapar, bebas dari ketidakadilan, bebas menentukan masa depannya tanpa dibelenggu kemiskinan dan kebodohan. Merdeka berarti pemerintah tidak hanya menjadi pelayan modal, tetapi pengemban amanat rakyat. Merdeka berarti suara kritis tidak dibungkam, dan perbedaan pendapat tidak dianggap ancaman.

Baca Juga :  Jangan Kotori Hasil Perjuangan Pahlawan, Pesan Ketua OKK-DPP FORMADES dalam Rangka HUT RI ke-80

Peringatan kemerdekaan seharusnya tidak hanya menjadi seremoni tahunan. Ia harus menjadi momentum refleksi kolektif—apakah cita-cita para pejuang telah kita wujudkan, ataukah hanya menjadi slogan di spanduk dan pidato?

Kemerdekaan bukan hadiah yang sekali diraih lalu selesai. Ia adalah proses panjang, yang menuntut kesadaran, keberanian, dan keterlibatan seluruh rakyat. Kita tidak bisa puas hanya dengan kebebasan simbolik. Kita harus memastikan kemerdekaan itu terasa di meja makan petani, di pabrik buruh, di tanah adat, di ruang kelas, dan di ruang publik.

Pertanyaan “Apakah kita sudah merdeka?” mungkin tidak memiliki jawaban tunggal. Tetapi dari kegelisahan itulah, semangat perjuangan harus terus dipelihara. Sebab, bangsa ini hanya akan benar-benar merdeka ketika setiap warganya merasakan kemerdekaan itu dalam kehidupan sehari-hari—bukan sekadar di hari peringatan, tetapi di setiap tarikan napasnya.