TUBABA: Salah Konsep, Tangisan Sunyi dari Tanah Para Marga

Oleh: DAS’AD ARIFIN
Dewan Pakar Jaringan Pendamping Kebijakan (JPKP) Tulang Bawang Barat (TUBABA)

LINTASDESA | Tulang Bawang Barat – Ketika suara masyarakat hanya menjadi gema kosong di ruang-ruang kekuasaan, di situlah awal mula kesalahan berpikir sebuah daerah dimulai. Tubaba, sebuah kabupaten muda yang lahir dari semangat besar untuk mandiri dan bermartabat, perlahan tenggelam dalam kekeliruan arah pembangunan yang menyayat nurani.

Tubaba bukanlah Bali. Tubaba bukan Bandung. Ia adalah tanah pertanian. Ia adalah ladang-ladang keringat para petani, pekebun, nelayan darat dan peternak yang hidup dari tanah dan air. Tubaba adalah rumah dari nilai-nilai adat 4 marga Tulang Bawang barat yang berabad-abad merawat peradaban lokal.

Namun kini, arah pembangunan yang memaksakan konsep pariwisata dan pusat perdagangan telah membuat daerah ini kehilangan jati dirinya. Ladang berubah jadi taman. Sawah ditinggalkan demi estetika. Budaya dijadikan pajangan untuk wisatawan, bukan nilai untuk diwariskan.

Junaidi Farhan, seorang tokoh yang memahami denyut nadi daerah ini, berkata tegas: “Tubaba harus kembali ke Way Abung, kepada roh transmigrasi: pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Tapi tidak cukup hanya dengan tanam rumput odot.”

Senada, di katakan DAS’AD ARIFIN, sebagai Dewan Pakar JPKP Tubaba, menegaskan bahwa kesalahan konsep dalam pembangunan adalah kesalahan besar yang membawa luka panjang. Ketika kita memaksakan baju yang salah pada tubuh sebuah daerah, maka yang terjadi adalah ketimpangan, pemborosan, dan kekecewaan yang berulang-ulang.

Luka Yang Tak Tersembuhkan

Anak-anak petani kini bersekolah tanpa tahu apakah mereka akan mewarisi sawah atau menjadi buruh di kota. Sementara pemerintah bicara tentang “kawasan wisata kreatif”, harga singkong dan karet terus jatuh, pupuk langka, irigasi rusak, dan petani kehilangan harapan.

Apa arti indahnya trotoar jika rakyat lapar?
Apa gunanya taman jika ternak tak ada pakan dan lahan dikuasai investor luar?

Identitas Yang Ditinggalkan

Budaya lokal 4 marga Tulang Bawang Barat, seharusnya menjadi fondasi pembangunan. Tapi justru diabaikan, dikomodifikasi, bahkan dipinggirkan. Kita membangun “citra modern” tapi lupa akar sejarah. Kita menciptakan “destinasi” tapi kehilangan makna.

Saatnya Kembali Pulang

Tubaba tidak butuh meniru daerah lain. Tubaba harus menjadi dirinya sendiri.

Kita butuh keberanian untuk mengakui kesalahan arah. Kita butuh pemimpin yang tahu sejarah tanah ini. Yang tidak silau oleh festival dan event, tapi paham bagaimana mencetak lahan pangan lestari. Yang tidak sekadar berbicara digitalisasi UMKM, tapi tahu bagaimana petani bisa menjual hasil panen dengan harga wajar.

Tangisan Sunyi dari Tanah Para Marga

Mungkin rakyat tidak berteriak. Tapi tangis sunyi mereka terdengar jelas bagi hati yang masih hidup.
Mereka tidak butuh wacana. Mereka butuh sawah yang bisa ditanami, sungai yang bersih untuk kolam ikan, dan padang hijau untuk ternak.
Tubaba tidak salah tempat. Tapi Tubaba salah konsep. Dan itu lebih menyakitkan.(*)