Perampasan Aset Rakyat oleh Negara, Rekening dan Tanah dalam Cengkeraman Kebijakan

Oleh: Yoseph Heriyanto

LINTASDESA | Dalam beberapa bulan terakhir, dua kabar besar mengguncang rasa aman masyarakat kecil: pemblokiran 140 ribu rekening oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan ancaman pengambilalihan tanah hak milik yang dianggap “telantar” selama dua tahun oleh Kementerian ATR/BPN.

Dua kebijakan ini, meskipun dikemas dengan bahasa hukum dan dalih tata kelola, sejatinya menghadirkan ancaman nyata: negara bisa masuk ke ranah privat warga dan mengambil alih apa yang selama ini dipahami sebagai hak milik yang sah.

Langkah PPATK memblokir lebih dari 140.000 rekening dengan nilai dana Rp428,6 miliar mungkin dimaksudkan sebagai upaya memerangi pencucian uang dan transaksi ilegal. Tapi fakta bahwa rekening-rekening itu diblokir hanya karena dianggap “tidak aktif” atau “dormant” selama dua tahun tanpa peringatan yang memadai telah menimbulkan keresahan. Mekanisme pemblokiran yang dilakukan secara sepihak tanpa transparansi proses dan hak jawab dari pemilik rekening menegaskan adanya penyalahgunaan otoritas.

Bagaimana jika rekening tersebut milik orang tua yang sengaja menyimpan dana untuk pendidikan anaknya? Bagaimana jika itu tabungan darurat, warisan, atau dana pensiun yang memang tidak disentuh dalam waktu lama? Negara seolah menjadi pihak yang berhak menghakimi motif dan kebutuhan keuangan warga, dan yang lebih parah: bertindak dulu sebelum berdialog.

Baca Juga :  Korupsi Darurat di Wilayah Jawa Tengah

Keresahan tidak berhenti di rekening. Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyatakan bahwa negara berhak mengambil alih tanah—termasuk yang bersertifikat hak milik—jika tidak dimanfaatkan selama dua tahun.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2021, tanah yang tidak dimanfaatkan bisa dikategorikan sebagai “terlantar”, dan proses penyitaannya dimulai dengan evaluasi, peringatan bertahap (SP1-SP3), hingga pengambilalihan oleh negara. Sekilas, kebijakan ini terdengar masuk akal untuk mencegah spekulasi tanah.

Namun, betapa liciknya peraturan jika digunakan untuk merampas tanah rakyat kecil yang selama ini sengaja ditinggal karena alasan ekonomi, warisan, migrasi, atau sekadar menyimpan tanah untuk masa depan.

Apakah negara benar-benar peduli pada latar belakang itu, atau justru menggunakan kekuasaan regulatif untuk menguasai lahan warga demi kepentingan proyek strategis, investasi, atau kepentingan elite?

Situasi ini memperlihatkan satu pola yang mencemaskan: negara memperluas kuasanya atas aset milik warga, bukan melalui kekerasan langsung, tetapi melalui instrumen hukum dan birokrasi yang disusun secara sistematis.

Dengan dalih penertiban, optimalisasi aset, dan reforma agraria, negara justru menempatkan warga sebagai objek kecurigaan, bukan sebagai subjek yang dilindungi. Padahal, dalam prinsip hak milik yang dijamin konstitusi, kepemilikan pribadi hanya bisa dibatasi oleh hukum jika mengancam hak orang lain atau melanggar ketertiban umum.

Baca Juga :  Ini Penyebab Anjloknya Harga Singkong

Tetapi ketika negara mulai mencampuri bagaimana cara seseorang menyimpan uang atau mengelola tanah miliknya sendiri, maka yang kita hadapi bukan lagi negara pelindung rakyat, melainkan negara yang merampas secara legalistik.

Inilah saatnya publik menyadari bahwa kebijakan yang terlihat “tertib” bisa menyimpan wajah otoritarian. Kita tidak sedang membela praktik ilegal, tapi mempertanyakan cara negara menjalankan kuasanya atas warga.

Pemblokiran rekening dan penertiban tanah tidak salah secara konsep, tapi menjadi alat penindasan jika tak dibarengi prinsip proporsionalitas, keterbukaan informasi, dan akses keberatan bagi warga.

Kini, saatnya masyarakat sipil, akademisi, media, dan organisasi rakyat untuk bersuara. Karena jika hari ini negara bisa mengakses rekening dan tanah Anda atas nama regulasi, maka besok ia bisa saja masuk ke ruang-ruang privat lainnya—dan kita tak lagi memiliki kuasa penuh atas apa yang kita sebut sebagai milik kita. (By*)