Pendidikan Gratis Hingga Perguruan Tinggi, Mungkinkah?

LINTASDESA | Jakarta – Liga Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (LMID) bersama empat mahasiwa secara perseorangan mengajukan pengujian materi Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut para Pemohon Perkara Nomor 111/PUU-XXIII/2025 ini, pemerintah wajib menjamin tersedianya dana pendidikan bagi setiap warga negara pada seluruh jenjang pendidikan secara bertahap, bukan hanya yang berusia 7-15 tahun atau pendidikan dasar.

“Konsep gratis secara bertahap dapat dilakukan dengan memprioritaskan pembebasan biaya kuliah dan skema dukungan bertarget untuk biaya hidup mahasiswa,” ujar kuasa para Pemohon, Girindra Sandino, dalam sidang pendahuluan pada Selasa (22/7/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta.

Menurut para Pemohon, UU Sisdiknas yang membebankan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi kepada peserta didik secara langsung merugikan hak kontitusionalnya. Masalah pembiayaan pendidikan tinggi yang tidak dijamin negara bukanlah sekadar isu ekonomi, melainkan mekanisme struktural yang melanggengkan ketidaksetaraan dan menghambat kemajuan bangsa.

Para Pemohon menyebut, tingginya biaya pendidikan telah menyebabkan ratusan ribu mahasiswa terpaksa berhenti kuliah karena masalah finansial. Data Kementerian Pendidikan Tinggi mencatat lebih dari 350 ribu mahasiswa berhenti kuliah pada 2023, sebagian besar dari perguruan tinggi swasta.

Menurut mereka, tantangan finansial khususnya terkait dengan sistem uang kuliah tunggal (UKT) yang menjadi hambatan serius yang memaksa sebagian mahasiswa tidak melanjutkan kuliah. Rata-rata biaya pendidikan tinggi mencapai Rp19,01 juta per tahun pada tahun ajaran 2023/2024 dan rata-rata biaya kuliah di Indonesia secara umum telah naik sekitar 50 persen selama periode 2014-2023.

Sebagai informasi, Pasal 11 ayat (2) Sisdiknas berbunyi “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.” Menurut para Pemohon, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 31 dan Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Karena itu, dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 11 ayat (2) UU Sisdiknas inkonstitusional. Menurut mereka, pasal tersebut seharusnya dimaknai “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara pada seluruh jenjang pendidikan secara bertahap.”

Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Hakim Enny menasehati para Pemohon harus menguraikan dengan jelas dan detail pertentangan norma yang diuji dengan masing-masing pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji atau dasar pengujian.

“Bagaimana Saudara membangun sebuah argumentasi yang jelas mengenai bahwa ini harus gratis semua kalau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar itu bagaimana caranya, supaya bisa meyakinkan betul ada persoalan di situ,” kata Enny.

Sementara itu, Hakim Arief mengatakan konstitusi mewajibkan negara untuk menyediakan dan membiayai pendidikan dasar bagi seluruh warga negara. Para Pemohon seharusnya menyampaikan argumentasi kuat terkait kewajiban negara maupun pemerintah daerah untuk membiaya pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Pasalnya, penduduk Indonesia lebih banyak dibandingkan negara-negara yang disebutkan para Pemohon menyelenggarakan pendidikan gratis hingga kuliah.

“Anda singgung Skandinavia, di sana jumlah penduduknya sedikit, terus kemudian APBN-nya sudah tinggi, tingkat pendapatan per kapitanya sudah tinggi. Kita itu, berarti apakah, bagaimana coba dipikirkan supaya betul-betul apa yang diinginkan Anda coba untuk membayangkan kira-kira Mahkamah bisa mengabulkan enggak ini. Karena sebetulnya masalah pendidikan yang utama spesialisnya diatur di dalam Pasal 31, super spesialisnya di Pasal 31 ayat (2), itu sudah limitatif,” tutur Arief.

Sebelum menutup persidangan, Arief mengatakan para Pemohon dapat memperbaiki permohonan dalam waktu 14 hari. Berkas perbaikan permohonan paling lambat harus diterima Mahkamah pada Senin, 4 Agustus 2025 pukul 12.00 WIB. (sumber: humas_MKRI*)