Membela Kemerdekaan Pers di Tengah Arus Pembatasan

Ditulis oleh Yoseph Heriyanto

LINTAS DESA | Nasional – Belakangan ini, muncul kembali anggapan bahwa media massa yang belum terverifikasi oleh Dewan Pers tidak sah dan tidak memiliki legitimasi untuk melakukan kerja jurnalistik.

Pandangan ini tak hanya keliru, tapi juga berbahaya karena mengancam semangat kemerdekaan pers yang dijamin oleh konstitusi.

Dalam sebuah negara demokrasi, jurnalisme bukanlah privilese yang hanya dimiliki oleh media terdaftar, melainkan hak yang melekat pada setiap warga negara yang menggunakan kebebasan berekspresi dan menyampaikan informasi demi kepentingan publik.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara. UU ini tidak pernah mewajibkan media untuk mendaftar ke Dewan Pers sebagai syarat legalitas, melainkan menempatkan Dewan Pers sebagai lembaga independen yang bertugas menjaga etika, memberi mediasi, serta mendorong profesionalisme pers.

Verifikasi media oleh Dewan Pers bersifat sukarela, bukan imperatif hukum. Karena itu, menyebut media yang belum terverifikasi sebagai ilegal atau tidak sah merupakan bentuk penyesatan hukum yang bisa menjadi alat pembungkaman kebebasan pers.

Baca Juga :  FORMADES dan Spirit Kurban, Refleksi Idul Adha

Kita tidak boleh lupa bahwa kemerdekaan pers bukanlah karunia negara, melainkan hasil perjuangan panjang untuk membebaskan informasi dari kontrol kekuasaan. Dalam konteks ini, independensi media berarti kebebasan dari tekanan politik, ekonomi, maupun birokrasi formal.

Media yang independen harus diberi ruang untuk menyuarakan hal-hal yang tak disukai oleh kekuasaan, termasuk kritik tajam terhadap kebijakan atau penguasa. Justru di sinilah peran vital jurnalisme bekerja: menjadi penyeimbang, menjadi pengingat, dan menjadi saksi.

Hak imunitas pers yang dijamin dalam UU Pers bukan berarti jurnalis kebal hukum, melainkan jaminan bahwa dalam menjalankan kerja jurnalistik yang sesuai dengan etika dan kepentingan publik, mereka tidak bisa dipidana hanya karena isi pemberitaan yang sah. Ini adalah prinsip fundamental agar wartawan tidak dibungkam oleh ketakutan.

Mekanisme hak jawab dan hak koreksi disediakan sebagai solusi yang adil ketika ada sengketa pemberitaan. Dan di sinilah Dewan Pers memainkan peran mediatifnya, bukan sebagai hakim legalitas media.

Sayangnya, dalam praktik, banyak pihak menyalahartikan posisi Dewan Pers sebagai lembaga regulator tunggal media massa. Akibatnya, media alternatif, komunitas, atau warga yang menjalankan fungsi jurnalistik dituduh ilegal, dibatasi aksesnya, bahkan dikriminalisasi.

Baca Juga :  Muhammad Kerry Adrianto Bin Riza Chalid dan Dirut Pertamina Riva Siahaan Terseret Pusaran Korupsi Minyak Mentah (Bag. II)

Jika ini dibiarkan, maka hanya media besar yang memiliki sumber daya dan akses ke birokrasi yang akan bertahan. Kita akan kehilangan keragaman suara. Kita akan terseret pada rezim informasi yang tunggal dan patuh.

Mempertanyakan akurasi, etika, dan kualifikasi jurnalistik adalah sah. Tetapi menutup ruang atau mencabut legitimasi hanya karena media belum terverifikasi Dewan Pers adalah bentuk penyempitan demokrasi. Ia bukan saja bertentangan dengan semangat reformasi, tetapi juga melawan jiwa konstitusi.

Di tengah arus informasi yang terus mengalir dan kekuasaan yang kadang alergi pada suara berbeda, membela kemerdekaan pers berarti membela hak rakyat untuk tahu. Dan itu adalah hak yang tidak boleh dikompromikan. Karena di sanalah letak inti demokrasi: ketika setiap warga negara berhak menyuarakan, mengetahui, dan mengawasi kekuasaan tanpa takut dibungkam. (red)