Menguji Integritas Desa di Balik Rp. 680 Triliun Dana Desa
Oleh : Junaidi Farhan
Ketum Formades

LINTASDESA | Sepuluh tahun sudah Dana Desa mengalir ke pelosok-pelosok negeri. Sejak pertama kali digulirkan pada 2015, program ini menjanjikan harapan besar: mempercepat pembangunan, mengurangi ketimpangan, dan mengangkat martabat desa sebagai unit pemerintahan yang berdaulat dan mandiri. Namun, seiring derasnya aliran dana, muncul pula gelombang tantangan yang tak bisa diabaikan: praktik korupsi, lemahnya tata kelola, dan rendahnya partisipasi publik.
Dana Melimpah, Integritas Diuji
Hingga 2025, total Rp680,79 triliun Dana Desa telah digelontorkan ke 75.259 desa di seluruh Indonesia. Ini merupakan aliran dana publik terbesar dalam sejarah desentralisasi fiskal di Indonesia (Kemenkeu, 2023). Namun alih-alih sepenuhnya menjadi berkah, besarnya anggaran ini justru mengundang berbagai risiko, utamanya korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa sepanjang 2015–2021 terjadi 601 kasus korupsi sektor desa yang melibatkan 686 kepala desa atau perangkat desa (jatengprov.go.id). Lebih lanjut, Forum Membangun Desa (Formades) mencatat tren peningkatan tajam: dari 17 kasus pada 2015 menjadi 187 kasus pada 2023 (ICW/NU Online).
Sementara data resmi tahun 2018 dan 2024 belum tersedia, pola korupsi cenderung menunjukkan grafik naik. Ini menunjukkan bahwa aliran dana yang masif belum dibarengi dengan infrastruktur pengawasan dan kapasitas pengelolaan yang memadai.
Akar Masalah: Sistem Lemah, Budaya tak Mendukung
Masalah korupsi Dana Desa tidak berdiri sendiri. Ia tumbuh dalam struktur birokrasi yang lemah, budaya permisif, dan sistem kontrol yang belum efektif. Beberapa faktor utama penyebabnya antara lain:
- Besarnya anggaran tanpa pengawasan optimal, menciptakan ruang gelap yang rawan disalahgunakan.
- Rendahnya kapasitas aparatur desa, terutama dalam hal manajemen keuangan dan pengadaan.
- Politik transaksional dalam Pilkades, yang mengarahkan jabatan publik menjadi proyek investasi pribadi atau kelompok.
- Ketiadaan transparansi dan keterlibatan warga, yang membuat pengawasan sosial menjadi lemah.
- Budaya permisif terhadap penyimpangan, di mana korupsi tidak lagi dipandang sebagai pelanggaran moral.
Laporan Transparency International Indonesia (TI Indonesia) bahkan menyebutkan, sepanjang 2015–2019 saja, sedikitnya Rp1,28 triliun dana desa telah dikorupsi di berbagai level pemerintahan desa (TI, 2023).
Modus Lama dalam Pola Baru
Korupsi Dana Desa berlangsung dalam berbagai modus yang terus berulang dan semakin canggih. Berdasarkan kajian ACLC KPK, ditemukan pola-pola korupsi yang dominan seperti:
- Mark-up harga barang dan jasa melebihi harga pasar.
- Pembuatan laporan fiktif terhadap kegiatan yang tidak pernah dilaksanakan.
- Manipulasi dalam pengadaan, seperti penunjukan rekanan yang terafiliasi dengan pejabat desa.
- Pembangunan proyek fiktif, yang hanya tercatat dalam laporan tanpa realisasi di lapangan.
- Pungutan liar dan pemotongan anggaran yang dilakukan tanpa dasar hukum.
Lebih dari itu, masyarakat sering mencurigai adanya penyimpangan hanya berdasarkan gaya hidup kepala desa atau perangkatnya yang tiba-tiba melampaui kewajaran. Fenomena ini menandakan bahwa pengawasan sosial tetap menjadi benteng terakhir di tengah lemahnya sistem formal.

Masyarakat Sebagai Pendamping Demokrasi Desa
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 secara tegas menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan desa. Mereka berhak meminta informasi, terlibat dalam perencanaan, dan mengawasi pelaksanaan pembangunan.
Pasal 68 ayat (1) menegaskan bahwa warga desa berhak:
“meminta dan memperoleh informasi dari pemerintah desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.”
Namun, dalam praktiknya, keterbukaan informasi sering dihadapkan pada berbagai hambatan: mulai dari ketidaktahuan, pengabaian hak publik, hingga intimidasi terhadap warga yang kritis.
Pengawasan seharusnya tidak dianggap sebagai bentuk perlawanan, melainkan sebagai bagian dari koreksi dan penguatan tata kelola. Sebab hanya melalui partisipasi warganya, desa dapat tumbuh menjadi institusi yang dipercaya dan bermartabat.
Rekomendasi Formades: Membangun Dari Dasar
Dalam rangka memperbaiki tata kelola Dana Desa, Formades merekomendasikan langkah-langkah strategis sebagai berikut:
- Penguatan fungsi pengawasan internal (APIP) dan peran eksternal seperti BPD dan masyarakat sipil.
- Peningkatan kapasitas aparatur desa, terutama dalam akuntabilitas, pengadaan, dan penyusunan laporan keuangan.
- Publikasi terbuka dokumen APBDes dan realisasi anggaran melalui papan informasi, media sosial, atau forum warga.
- Pembentukan Unit Pengaduan Pelayanan Publik (UP3) di tingkat desa agar warga memiliki kanal resmi menyampaikan keluhan.
- Revitalisasi peran BPD sebagai lembaga representatif warga yang tidak hanya bersifat formalitas tetapi benar-benar menjalankan fungsi kontrol.
Desa Harus Diperjuangkan, Bukan Diperdagangkan
Dana Desa adalah peluang besar yang tidak datang dua kali. Namun tanpa integritas dan tata kelola yang baik, ia justru bisa menjadi sumber kekecewaan baru. Desa bukan untuk dipertontonkan sebagai panggung kekuasaan, tetapi dikelola sebagai ruang hidup bersama yang adil, terbuka, dan berkelanjutan.
Sepuluh tahun Dana Desa adalah momentum reflektif. Sudah waktunya kita bertanya:
“Apakah pembangunan benar-benar menjangkau rakyat, atau hanya memperkaya mereka yang berada di lingkaran kekuasaan desa?”
Jawaban atas pertanyaan itu tidak hanya ada di meja auditor, tetapi di hati warga desa itu sendiri. Sebab ketika masyarakat melek informasi dan aktif mengawal kebijakan, korupsi akan kehilangan tempat berpijaknya.(***)