Abas Karta Apresiasi Kepalo Tiyuh Wonokerto Tolak Ternak Babi

LINTASDESA, Tubaba | Pengamat kebijakan dari K3PP Tubaba Ahmad Basri, S.Sos., SH atau yang lebih dikenal Abas Karta memberi apresiasi Kepalo Tiyuh Wonokerto, Beniansyah atas sikap tegasnya menolak pembuatan kandang ternak babi di desanya (Tiyuh Wonokerto Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang Barat).
Apresiasi tersebut disampaikan Abas Karta melalui tulisan:
MENOLAK TERNAK BABI MENEGUHKAN SUARA RAKYAT: APRESIASI KEPALA TIYUH WONOKERTO
__ Ahmad Basri – Ketua K3PP Tubaba.
Di tengah birokrasi yang kerap dimasuki kompromi dan ketundukan pada kepentingan pemodal, suara pemimpin lokal yang bersedia berdiri di barisan rakyat adalah barang langka. Biasanya lebih banyak diam mengikuti apa yang diinginkan elit politik.
Sikap tegas Kepala Tiyuh Wonokerto, Beniansyah, Tulang Bawang Tengah, Tulang Bawang Barat, menolak pembangunan peternakan babi di wilayah RK 04 RT 10 dan 11, layak mendapat apresiasi dari publik luas (lintasdesa.com.12/juli/20225).
Sikap Kepala Tiyuh Wonokerto tidak hanya mencerminkan keberpihakan administratif tetapi merupakan manifesto etika kepemimpinan di level akar rumput.
Dalam beberapa tahun ini terakhir kita menyaksikan bagaimana ruang hidup masyarakat sering terancam oleh proyek-proyek yang hanya bermodalkan legalitas administratif tanpa legitimasi sosial. Seolah – olah legitimasi sosial itu tidak penting.
Ketika pembangunan hanya mengandalkan legitimasi administratif dan mengabaikan aspirasi warga maka disitulah konflik mulai tumbuh.
Tindakan Kepala Tiyuh, Beniansyah, secara terbuka menolak peternakan babi karena mendengar langsung keluhan warga, tentang potensi pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan, serta konflik sosial adalah teladan yang harus diperluas serta dicontoh.
Menjadi catatan masalahnya bukan sekadar jenis hewan atau usaha peternakan semata namun soal bagaimana pembangunan dirancang, untuk siapa dan apakah melalui proses yang partisipatif atau tidak. Mendengar suara warga masyarakat atau tidak. Ini yang kadang tidak menjadi standar acuan dalam mengambil kebijakan.
Proyek peternakan babi sudah jelas tidak “diduga” mengantongi izin lingkungan maupun dukungan warga sekitar. Dari itu proses perizinan yang sedang atau akan berjalan harus dihentikan.
Apalagi ternak babi adalah wilayah yang sensitif di tengah kehidupan sosial keagamaan. Sense of crisis ini yang hilang. Seharusnya Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang Barat (Pemkab Tubaba) bersikap tegas dalam hal ini Dinas Perizinan.
Kita ingin melihat apakah Pemkab Tubaba akan menjadi garda terdepan dalam menjaga harmoni sosial atau sebaliknya hanya menjadi pemberi stempel legal atas proyek-proyek yang potensial merusak tatanan masyarakat. Sikap ini sepertinya belum diambil.
UU No. 32 Tahun 2009 sudah jelas tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas menyebut bahwa kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan wajib melalui proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan konsultasi publik. Apabila aspirasi warga sudah secara terbuka menolak maka aspek sosial sebagai syarat AMDAL pun otomatis gugur.
Kepala Tiyuh Wonokerto telah menunjukkan bahwa kepemimpinan lokal tidak harus inferior terhadap proyek-proyek yang mengatasnamakan pembangunan. Dirinya telah memberi pelajaran bahwa pembangunan sejati bukan sekadar pembangunan fisik atau investasi ekonomi, tetapi juga pembangunan kepercayaan dan keharmonisan masyarakat.
Sikap seperti ini patut menjadi cermin bagi seluruh pemangku kepentingan di Tubaba dan daerah lain bahwa suara warga bukan gangguan melainkan pijakan untuk membuat kebijakan yang lebih adil dan beradab.
Sekali lagi kita menunggu apakah Pemkab Tubaba akan bersikap sama yakni berpihak kepada suara warga, menolak proyek yang belum memenuhi syarat hukum dan etika, atau justru membiarkan konflik horizontal tumbuh akibat pembiaran yang berujung kerusakan sosial.
Harus diingat bahwa pembangunan yang baik selalu dimulai dari mendengar. Karena pembangunan yang ditolak oleh masyarakat adalah pembangunan yang kehilangan legitimasi sejak awal. Mendengar suara rakyat sangat penting.
Alih-alih memaksakan proyek yang akan menimbulkan resistensi perlawanan, lebih baik pemerintah daerah mendorong bentuk usaha lain yang sejalan dengan kearifan lokal, kultur masyarakat, dan keberlanjutan lingkungan.
Langkah awal sudah diambil oleh Kepala Tiyuh. Kini giliran Pemkab Tubaba mengambil peran. Jangan sampai keheningan birokrasi menjadi persetujuan diam terhadap sebuah pembangunan yang secara terang-benderang ditolak oleh rakyat.