Paradigma Pembangunan di Tubaba, Bukan Sebatas Ornamen Fisik Semata
(Ahmad Basri, S.Sos., SH, Ketua K3PP Tubaba)

Sejak resmi menjadi daerah otonomi baru pada tahun 2008, Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) telah menunjukkan geliat pembangunan yang cukup masif khususnya di sektor infrastruktur. Jalan-jalan dibuka, gedung-gedung didirikan, ruang-ruang publik dibangun.
Dari segi tampilan fisik wajah Tubaba memang berubah. Namun.perubahan ini menyisakan pertanyaan mendasar. Pembangunan untuk siapa? Dan seberapa besar manfaat nyata yang dirasakan masyarakat? Apakah masyarakat sebagai penikmat pembangunan atau hanya dinikmati segelintir orang?
Setiap tahun Anggaran Belanja Daerah (APBD) tersedot dalam jumlah besar untuk pembangunan infrastruktur. Tetapi sayangnya banyak dari proyek-proyek tersebut dikerjakan asal jadi. Jalan-jalan yang baru dibangun sudah retak dan rusak dalam hitungan bulan. Inilah gambaran pembangunan di Tubaba.
Bangunan-bangunan publik berdiri megah tapi tidak digunakan secara maksimal. Hal bukan sekedar soal kualitas teknis akan tetapi juga kegagalan perencanaan yang tidak berpijak pada kebutuhan masyarakat. Tubaba seperti banyak daerah otonom baru lainnya di Indonesia, tampaknya terjebak dalam “ornamen” infrastruktur.
Pemerintah daerah lebih suka membangun yang tampak dipermukaan berupa jalan, gedung, taman “ikon estetika” ketimbang yang menyentuh substansi kehidupan warga seperti pertanian, ketahanan pangan, penguatan UMKM, pendidikan, dan pelayanan dasar lainnya.
Pembangunan infrastruktur memang penting tetapi menjadikannya sebagai satu-satunya indikator kemajuan adalah keliru besar. Masyarakat Tubaba mayoritas masih bergantung pada sektor agraris. Mereka hidup dari sawah, ladang, dan sungai. Namun pembangunan sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan belum mendapat porsi perhatian yang adil dan strategis. Program-programnya hanya tempelan bukan prioritas.
Pembangunan yang berorientasi estetika “keindahan” dan tidak menyentuh realitas sosial-ekonomi masyarakat lokal adalah pembangunan yang semu. Pembangunan hanya sekadar mempercantik permukaan, tetapi gagal menyelesaikan masalah-masalah mendasar seperti kemiskinan struktural, pengangguran, akses pendidikan yang timpang dan ketersediaan air bersih.

Paradigma pembangunan Tubaba harus segera berubah. Tidak bisa lagi hanya dibangun berdasarkan selera elite birokrasi atau sekadar untuk mengejar pencitraan jangka pendek. Pembangunan harus berpijak pada basis kebutuhan rakyat. Bukan hanya mengandalkan musrenbang yang formalistik akan tetapi harus melalui dialog mendalam dan partisipatif dengan kelompok masyarakat, tani, nelayan, pedagang kecil, perempuan, pemuda dan komunitas adat.
Tubaba hari ini bukan Tubaba sepuluh tahun lalu. Kesadaran kritis masyarakat terus tumbuh dan berkembang. Warga mulai mempertanyakan arah kebijakan publik, dan mengawasi anggaran, bahkan berani menolak proyek yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini adalah kemajuan demokrasi berpikir yang patut diapresiasi.
Kini masyarakat Tubaba tidak bisa lagi dipandang sebagai massa mengambang yang apatis. Mereka adalah subjek pembangunan yang sah. Karena itu, pembangunan yang tidak berpihak pada mereka akan mendapat perlawanan moral, sosial bahkan politis.
Pemerintah daerah perlu merenungkan ulang arah kebijakan pembangunan. Pembangunan bukan soal beton dan aspal semata namun soal memuliakan kehidupan rakyat. Infrastruktur penting tetapi harus menjadi alat bukan tujuan. Tujuan sejatinya adalah kesejahteraan yang berkeadilan.
Saatnya Tubaba tidak lagi mengejar pembangunan yang hanya tampak indah di mata tapi rapuh di dasar. Saatnya Tubaba menata ulang langkahnya dengan prinsip inklusif, adil, partisipatif, dan berkelanjutan. Paradigma lama harus ditinggalkan dan paradigma baru harus dimulai dengan pembangunan yang berpihak pada rakyat.
.