Muhammad Kerry Adrianto Bin Riza Chalid dan Dirut Pertamina Riva Siahaan Terseret Pusaran Korupsi Minyak Mentah (Bag. II)

Editor : Junaidi Farhan

Foto : Muhammad Kerry Adrianto Bin Riza Cholid, atas Dirut PT. Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (LINTASDESA.com)

Jakarta, LINTASDESA | Kejaksaan Agung berhasil mengungkapkan kerugian negara akibat dugaan tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, sub holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKSM) sebesar Rp 193,7 triliun dalam kurun waktu satu tahun.

Kasus dugaan korupsi minyak mentah tersebut menyeret anak saudagar minyak (Riza Chalid) Muhammad Kerry Adrianto, selaku Beneficial Owner PT. Navigator Khatulistiwa bersama Direktur Utama (Dirut) PT. Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan.

Terseretnya PT. Pertamina dalam pusaran kasus dugaan korupsi terkait tata kelola minyak mentah antara 2018 dan 2023. Kejaksaan Agung menyebutkan terjadi kongkalikong dalam impor minyak mentah dan produk turunannya yang berakibat pada tingginya harga.

Siapa sangka Dirut PT. Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan yang siangnya menerima penghargaan di ajang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) oleh Kementerian Lingkungan Hidup, malam harinya Riva Siahaan ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina 2018-2023.

Kasus dugaan korupsi pengadaan minyak mentah menjadi salah satu skandal keuangan terbesar yang tengah diusut Kejaksaan Agung. Pada periode 2018-2023, Kejaksaan Agung menduga Pertamina melakukan praktik impor minyak mentah melalui broker dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan minyak produksi dalam negeri.

Selain itu, ada indikasi bahwa produk bahan bakar minyak (BBM) berkualitas lebih rendah dijual dengan harga lebih tinggi. Hal itu akhirnya membebani keuangan negara dan masyarakat.

Kerugian negara akibat praktik tersebut diperkirakan Rp 193,7 triliun. Angka ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kerugian akibat ekspor minyak mentah dalam negeri, pembelian minyak impor dengan harga tidak wajar, hingga pemberian subsidi dan kompensasi yang seharusnya bisa ditekan jika tata kelola energi berjalan dengan baik.

Akhir Februari 2025, Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus tersebut, terdiri dari pejabat tinggi Pertamina dan pihak swasta yang berperan sebagai perantara dalam transaksi minyak mentah dan produk kilang. Dari pihak penyelenggara negara, tersangka utama adalah Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.

Baca Juga :  Hak Masyarakat Mengawal Pengelolaan Dana Desa

Selain itu, ada Sani Dinar Saifuddin selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, dan Agus Purwono selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.

Sementara dari pihak swasta, tersangka utama adalah Muhammad Kerry Andrianto Riza, selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, yang diduga memperoleh keuntungan besar dari impor minyak mentah dan produk kilang. Dua tersangka lainnya dari pihak swasta adalah Dimas Werhaspati, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa, serta Gading Ramadhan Joedo, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Investigasi Kejaksaan Agung menemukan adanya praktik impor minyak mentah dengan harga jauh lebih tinggi dibandingkan harga produksi dalam negeri. Pejabat Pertamina diduga secara sengaja menolak minyak mentah produksi dalam negeri dan menggantinya dengan impor melalui broker dengan harga yang telah dimanipulasi.

Hal itu menyebabkan harga BBM jadi lebih mahal sehingga pemerintah harus mengeluarkan subsidi yang sangat besar untuk menutupi harga jual di masyarakat. Kejaksaan Agung telah melakukan serangkaian penyelidikan dengan memeriksa 96 saksi dan dua ahli serta menyita hampir seribu dokumen sebagai barang bukti. Sejumlah rumah dan kantor para tersangka juga digeledah untuk mencari bukti tambahan.

Kejaksaan Agung menyatakan bahwa kasus korupsi minyak mentah di Pertamina telah merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun. Kerugian ini berasal dari beberapa komponen utama, termasuk ekspor minyak mentah dalam negeri yang tak sesuai kebijakan pemanfaatan energi nasional. Dalam skema ini, minyak mentah dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang seharusnya diproses di dalam negeri malah dijual ke luar negeri dengan harga rendah.

Selain itu, terdapat kerugian akibat impor minyak mentah melalui broker sebesar Rp 2,7 triliun. Broker yang terlibat dalam kasus ini diduga telah memanipulasi harga jual minyak kepada Pertamina sehingga harga yang dibayarkan jauh lebih tinggi daripada harga pasar seharusnya. Ini terjadi karena dugaan adanya pemufakatan jahat antara pejabat Pertamina dan broker yang telah menentukan harga sebelum tender.

Baca Juga :  Formades Apresiasi Kinerja Kejari Pringsewu Mengungkap Kasus Bimtek Kades

Kerugian negara juga berasal dari pemberian kompensasi pada 2023 sebesar Rp 126 triliun. Kompensasi ini diberikan untuk menutupi selisih harga BBM yang tinggi akibat impor minyak mentah yang tak efisien. Selain itu, subsidi BBM yang dikeluarkan pada 2023 mencapai Rp 21 triliun. Jika tata kelola minyak mentah dilakukan dengan lebih transparan, subsidi seharusnya bisa ditekan lebih rendah.

Selain itu, ada indikasi bahwa produk bahan bakar minyak (BBM) berkualitas lebih rendah dijual dengan harga lebih tinggi. Hal itu akhirnya membebani keuangan negara dan masyarakat.

Kerugian negara akibat praktik tersebut diperkirakan Rp 193,7 triliun. Angka ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kerugian akibat ekspor minyak mentah dalam negeri, pembelian minyak impor dengan harga tidak wajar, hingga pemberian subsidi dan kompensasi yang seharusnya bisa ditekan jika tata kelola energi berjalan dengan baik.

Menanggapi perkembangan kasus hukum yang sedang berjalan di Kejaksaan Agung, Pertamina merespons dengan menyerahkan seluruh proses hukum kepada aparat berwenang.

Pertamina selalu menghormati proses hukum yang sedang berjalan di Kejaksaan Agung,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso di Jakarta, Jumat (11/7).

Pihaknya juga akan bersikap kooperatif dan siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar.

Fadjar juga menegaskan bahwa di tengah berjalannya proses hukum, pelayanan Pertamina terkait energi kepada masyarakat tetap menjadi prioritas utama dan operasional perusahaan tetap berjalan normal seperti biasa.

Sebagai perusahaan yang berkomitmen terhadap prinsip Good Corporate Governance (GCG), Pertamina akan terus meningkatkan transparansi dan tata kelola di seluruh proses bisnis terutama dalam aspek operasional perusahaan. (Sumber : Kompas, Tempo, Kumparan, Antara*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *