Korupsi Darurat di Wilayah Jawa Tengah
Redaktur : Yoseph Heriyanto

Jawa Tengah, Lintasdesa.com – Selama enam bulan terakhir, Jawa Tengah dibayangi oleh gelombang kasus korupsi yang terus meningkat. Berdasarkan data dari berbagai kejaksaan negeri dan lembaga penegak hukum, tercatat sedikitnya 38 kasus korupsi terjadi antara Januari hingga Juli 2025.
Angka ini bukan sekadar deretan perkara hukum, melainkan cerminan dari retaknya sistem pemerintahan di tingkat lokal—mulai dari desa hingga kabupaten dan kota.
Sebagian besar kasus berasal dari penyelewengan dana desa. Hingga April 2025 saja, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah mencatat 30 perkara korupsi yang menyasar pengelolaan anggaran desa.
Modus yang dilakukan berulang: laporan fiktif pembangunan, pengadaan barang dan jasa tanpa realisasi, hingga penggelapan dana yang semestinya digunakan untuk kepentingan masyarakat.
Dana desa yang seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan lokal justru menjadi sumber basah yang mudah diselewengkan karena lemahnya kontrol dan minimnya partisipasi warga.
Di tingkat kabupaten dan kota, situasinya tak kalah memprihatinkan. Di Semarang, dugaan suap pengadaan kursi dan meja sekolah dasar menyeret sejumlah pihak ke meja penyidikan. Di Kabupaten Semarang, kasus kredit fiktif di bank daerah menyebabkan kerugian negara miliaran rupiah.
Di Cilacap, penjualan lahan kepada BUMD yang dilakukan di luar prosedur resmi menyebabkan potensi kerugian negara yang sangat besar. Dan itu baru sebagian dari daftar panjang perkara yang kini ditangani aparat.
Di wilayah Solo Raya, korupsi tak kalah mengakar. Di Karanganyar, sedikitnya empat kasus besar mencuat. Mulai dari pembangunan fasilitas keagamaan yang anggarannya diduga dikorupsi, hingga pengadaan alat kesehatan di Dinas Kesehatan dan hibah ternak dari kementerian yang tidak pernah sampai ke petani. Bahkan dalam beberapa kasus, pelaku sempat mengembalikan uang negara—tindakan yang memperlihatkan kesadaran, namun tak cukup menghapus unsur pidana.
Di Boyolali, beberapa kepala desa dilaporkan ke kejaksaan atas dugaan penyelewengan dana desa. Modusnya mulai dari mark-up pembangunan lapangan olahraga hingga pengadaan kambing untuk warga yang tidak pernah sampai ke tangan penerima. Salah satu kasus bahkan melibatkan mantan kepala desa yang sempat buron selama 16 tahun setelah menggelapkan dana tanah kas desa.
Sukoharjo pun mencatat dua kasus korupsi dana desa yang kini dalam proses penyidikan. Di luar itu, Kejaksaan Negeri Sukoharjo juga sedang menyelidiki dugaan korupsi besar di BUMD Percada yang mengurusi pengadaan kalender dan buku pelajaran, dengan taksiran kerugian negara mencapai Rp10,6 miliar.
Di Pekalongan, seorang kepala desa ditahan karena diduga menyelewengkan dana desa hampir Rp1 miliar. Kasus-kasus serupa juga mulai terkuak di Grobogan, Sragen, dan Brebes, yang semuanya memperlihatkan pola yang sama: lemahnya pengawasan internal dan terbatasnya keterlibatan masyarakat dalam proses penganggaran dan pengawasan.
Jika kita tarik benang merah dari semua ini, terlihat bahwa korupsi bukan hanya terjadi karena niat buruk segelintir individu. Korupsi hari ini adalah hasil dari sistem yang memberi ruang—dari desentralisasi tanpa mekanisme pengawasan memadai, e-katalog yang bisa dimanipulasi, hingga proses tender dan laporan pertanggungjawaban yang mudah dipalsukan.

Lebih menyedihkan lagi, korupsi kini telah membumi di desa. Ia bukan lagi kejahatan eksklusif di kota besar. Ia masuk melalui lorong-lorong kantor desa, rapat kecil BUMDes, dan bahkan ruang musyawarah desa yang semestinya menjadi benteng demokrasi partisipatif. Ketika anggaran negara diselewengkan di depan mata masyarakat, dan warga tidak berdaya untuk bertanya atau bersuara, maka kita sedang menyaksikan lahirnya birokrasi tanpa akuntabilitas.
Situasi ini adalah alarm keras. Jawa Tengah sedang menghadapi darurat korupsi lokal yang tak bisa dibiarkan. Penanganannya tidak bisa lagi hanya bergantung pada penindakan hukum yang datang setelah kerugian terjadi. Yang dibutuhkan adalah pembenahan sistemik—mulai dari keterbukaan anggaran di tingkat desa, penguatan peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD), pelibatan aktif organisasi warga, hingga sanksi administratif bagi pejabat yang menjadi tersangka.
Pemerintah daerah mesti lebih berani mencopot pejabat yang terjerat kasus, tanpa menunggu proses hukum selesai. Platform digital harus dikembangkan agar seluruh proses penganggaran, belanja, hingga pertanggungjawaban dana desa bisa diakses publik kapan pun. Warga harus diberdayakan sebagai pengawas, bukan hanya peserta seremoni musrenbang.
Karena korupsi di desa bukan hanya mencuri uang negara—ia mencuri kesempatan warga untuk hidup lebih baik. Ia merampas bibit yang mestinya tumbuh di kebun rakyat, jalan yang semestinya dibangun, dan obat yang seharusnya tersedia di puskesmas. Korupsi adalah perampokan harapan. Dan jika dibiarkan terus terjadi, yang rusak bukan hanya neraca negara, melainkan kepercayaan rakyat terhadap negara itu sendiri.
Jawa Tengah masih punya kesempatan untuk memperbaiki arah. Tapi itu hanya mungkin jika semua pihak—pemerintah, aparat hukum, jurnalis, akademisi, dan warga—bersedia keluar dari zona nyaman dan berani melawan tidak hanya diam. Karena jika kita tidak bertindak sekarang, maka esok hari terlalu jauh, dan yang tersisa hanyalah birokrasi yang kehilangan hati nurani, serta rakyat yang dikhianati berkali-kali.