Kerentanan Pengelolaan Dana Ketahanan Pangan yang Dilegalisasi Permendesa Nomor 3 Tahun 2025

Ditulis oleh Yoseph Heriyanto

Lintasdesa.com – Pemerintah tampaknya bertekad merawat ilusi kemandirian desa. Melalui Permendesa PDTT Nomor 3 Tahun 2025, negara mewajibkan sedikitnya 20 persen Dana Desa dialokasikan untuk program ketahanan pangan dan hewani. Dana itu, yang nilainya mencapai miliaran rupiah per tahun di ribuan desa, diarahkan untuk dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Di atas kertas, kebijakan ini beraroma mulia. Pemerintah ingin BUMDes menjadi lokomotif ekonomi pangan desa: menampung hasil panen petani, mendistribusikan cadangan pangan, hingga membuka peluang kerja baru bagi warga. Namun di balik narasi manis itu, tersimpan lubang gelap yang luput diantisipasi.

Hasil penelusuran di sejumlah desa menunjukkan banyak BUMDes hanya berdiri di papan nama — menempati ruang kantor yang terkunci, pengurusnya tak pernah terdengar, bahkan laporan keuangannya tak jelas jejaknya. Di desa lain, BUMDes dikabarkan dikuasai segelintir orang dekat kepala desa, menjadi saluran proyek yang alih-alih menyejahterakan rakyat justru membuka peluang bancakan baru.

Permendesa Nomor 3 Tahun 2025, sadar atau tidak, telah membuka keran legalisasi risiko itu. Dana ketahanan pangan yang semestinya menyentuh langsung dapur warga dipaksa melewati lembaga yang belum terbukti sehat, transparan, dan akuntabel.

Apakah pemerintah desa benar-benar menyiapkan skema pengawasan memadai? Jawabannya belum pasti. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang seharusnya menjadi garda kontrol, tak jarang hanya menjadi stempel kebijakan. Musyawarah desa pun sering formalitas, lebih banyak menjadi seremoni tanpa ruang debat terbuka, apalagi ruang kritik.

Baca Juga :  Membalik Narasi Tentang Desa Yang Tidak Lagi Menarik

Padahal sejarah panjang program Dana Desa sudah berkali-kali membuktikan: ruang gelap pengelolaan dana publik di tingkat desa mudah dipenuhi permainan, jika tidak diawasi dengan kacamata tajam masyarakat.

Wajar jika warga bertanya: mengapa program ketahanan pangan tidak diarahkan langsung ke kelompok tani, kelompok ternak, atau lumbung pangan rakyat? Mengapa harus memutar lewat BUMDes yang bahkan untuk membayar honor pengurusnya saja masih mengandalkan dana desa?

Konsep ketahanan pangan seharusnya menempatkan masyarakat sebagai pengendali utama — mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Dana desa yang lahir dari semangat partisipasi rakyat tak seharusnya berubah menjadi dana yang dikuasai segelintir pengelola tanpa legitimasi sosial yang kuat.

Bahaya paling nyata adalah menjadikan BUMDes satu-satunya gerbang program ketahanan pangan tanpa evaluasi menyeluruh. Di banyak tempat, keberadaan BUMDes hanyalah simbol. Permendesa Nomor 3 Tahun 2025 tampak menutup mata pada kenyataan itu, seolah menganggap seluruh BUMDes sudah siap.

Sementara publik menaruh harapan besar agar dana ketahanan pangan benar-benar menjamin kebutuhan rakyat, aturan ini justru berpotensi menjadi celah penyimpangan. Alih-alih memberdayakan, bisa jadi hanya melegalkan kerentanan — legalisasi kebocoran dana ketahanan pangan oleh tangan lembaga desa yang belum siap diuji.

Baca Juga :  Portal Aduan Online dan Peran FORMADES dalam Mencegah Korupsi Dana Desa.

Kedaulatan pangan bukan sekadar jargon. Ia adalah urusan perut rakyat yang tidak boleh dijadikan proyek bisnis segelintir orang di desa. Kalau pemerintah serius, semestinya masyarakat dilibatkan penuh, tidak hanya lewat seremoni musyawarah desa, tetapi dalam setiap tahap pengambilan keputusan, penggunaan anggaran, dan pelaporan.

Forum Membangun Desa (Formades) memiliki peran yang sangat strategis sesuai visi misinya, peran partisipasi masyarakat harus diperkuat untuk melakukan monitoring dan pengawasan pelaksanaan serta pengelolaan dana ketahanan pangan, termasuk ketika dikelola oleh BUMDes. Jangan sampai masyarakat hanya dijadikan penonton, padahal mereka yang paling berhak mengontrol jalannya program.

BUMDes memang penting. Tetapi menugaskannya sebagai pengelola tunggal dana ketahanan pangan adalah taruhan besar. Taruhan yang rawan menyingkirkan rakyat dari hak dasarnya atas pangan yang aman, murah, dan berkelanjutan.

Permendesa Nomor 3 Tahun 2025, jika dibiarkan tanpa revisi atau tanpa regulasi turunan yang memperkuat partisipasi warga, berpotensi menjadi pintu lebar praktik bancakan dana desa gaya baru. Membiarkan celah korupsi lahir atas nama ketahanan pangan, dengan tameng legal formal bernama BUMDes.

Seperti kata orang tua di kampung, “perut rakyat tidak bisa menunggu laporan tahunan.” Ketahanan pangan adalah soal hidup mati. Jangan jadikan ia korban kebijakan yang terburu-buru, apalagi sarat kepentingan tersembunyi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *