Arah Baru Pembangunan Desa

Editorial Lintasdesa.com | 20 Juni 2025.
Desa-desa di Indonesia sedang bergerak menuju satu babak baru dalam sejarah pembangunan nasional. Rangkaian kebijakan mutakhir—mulai dari revisi Undang-Undang Desa, penguatan Dana Desa, hingga peluncuran Indeks Desa—menjadi sinyal bahwa desa kembali menjadi arena utama yang tak hanya menyimpan potensi, tetapi juga menjadi sasaran berlapis berbagai kepentingan.
Salah satu kebijakan paling menyita perhatian adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024, yang memperpanjang masa jabatan kepala desa dari enam menjadi delapan tahun, dengan batas maksimal dua periode. Pemerintah menyebut ini sebagai langkah untuk menciptakan kesinambungan pembangunan desa.
Stabilitas dan kelangsungan program dinilai lebih mungkin terwujud jika kepala desa tidak terlalu cepat berganti. Namun, logika semacam ini hanya kuat di atas kertas. Di banyak tempat, kepanjangan masa jabatan justru bisa menciptakan ruang kekuasaan yang terlalu mapan dan lemah dalam akuntabilitas, terutama jika tidak dibarengi dengan penguatan mekanisme partisipasi warga.
Kebijakan lain yang tak kalah penting adalah Kepmendesa PDT Nomor 3 Tahun 2025, yang mewajibkan minimal 20 persen Dana Desa untuk mendukung ketahanan pangan. Langkah ini berangkat dari kegelisahan nasional terhadap potensi krisis pangan dan tingginya ketergantungan desa terhadap pasokan luar.
Namun pelaksanaannya tidak boleh berhenti pada pengadaan bibit atau infrastruktur pertanian. Ketahanan pangan sejati hanya mungkin terwujud bila petani menjadi pelaku utama dan seluruh rantai produksi hingga distribusi dikendalikan oleh rakyat desa sendiri.
Di saat yang sama, pemerintah juga meluncurkan Indeks Desa, sebuah alat ukur pembangunan desa berbasis enam dimensi: layanan dasar, sosial, ekonomi, lingkungan, aksesibilitas, dan tata kelola. Di atas kertas, indeks ini dirancang untuk menyusun data pembangunan secara menyeluruh.
Namun sebagaimana kebijakan teknokratis lainnya, potensi kegagalan tetap besar jika warga desa tidak dilibatkan sejak awal—dalam penyusunan indikator, verifikasi data, hingga evaluasi. Tanpa partisipasi rakyat, indeks hanya menjadi alat klasifikasi yang bersifat administratif, bukan alat refleksi yang membumi.
Dalam arus kebijakan seperti ini, keberadaan Forum Membangun Desa (FORMADES) menjadi sangat penting. FORMADES adalah ruang rakyat untuk memperkuat agenda pembangunan yang lahir dari bawah. Ia bukan sekadar forum diskusi atau pengamat pasif kebijakan, tetapi simpul gerakan yang mendorong keterlibatan warga desa dalam setiap proses pembangunan: dari penyusunan dokumen perencanaan, pelaksanaan kegiatan, hingga pengawasan penggunaan anggaran.
FORMADES berperan membangun kesadaran kritis kolektif bahwa pembangunan tidak akan berpihak jika rakyat tidak mengambil bagian secara aktif. Ketika musyawarah desa menjadi formalitas tahunan, FORMADES bisa menciptakan ruang musyawarah sejati yang berpihak pada mereka yang selama ini dipinggirkan—petani kecil, perempuan kepala keluarga, buruh tani, pemuda desa.
Namun, partisipasi saja tidak cukup. Desa harus menyusun program pemberdayaan masyarakat yang berprinsip pada keberdayaan, kemandirian, kesetaraan, dan keberlanjutan. Pemberdayaan bukan sekadar proyek pelatihan atau pengadaan. Ia adalah proses pembebasan: membangkitkan kesadaran rakyat atas haknya, memperkuat daya tawar komunitas desa, serta memperluas akses mereka terhadap sumber daya ekonomi dan politik.
Dalam hal ini, alokasi anggaran desa harus benar-benar tepat sasaran, transparan, dan akuntabel. Tepat sasaran berarti seluruh belanja desa, terutama yang menyangkut pemberdayaan, harus dirancang berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat, bukan sekadar menyalin usulan dari atas.
Transparan berarti seluruh proses perencanaan dan penggunaan dana bisa diakses dan dikritisi oleh warga. Akuntabel berarti ada mekanisme pertanggungjawaban yang melibatkan partisipasi publik secara aktif, bukan sekadar laporan administratif.
Desa tidak boleh lagi menjadi sekadar penerima program dari pusat. Desa harus tumbuh sebagai pengatur hidupnya sendiri. Namun ini hanya bisa terjadi jika perangkat desa membuka ruang sebesar-besarnya untuk keterlibatan masyarakat, dan masyarakat pun bersedia mengorganisir dirinya secara mandiri.
Desa juga harus berani berkata “tidak” pada program-program yang tak sesuai konteks. Pembangunan tidak boleh berangkat dari asumsi luar, tetapi dari pengetahuan lokal, dari kesadaran warga akan potensi dan persoalan yang mereka hadapi sehari-hari.
Ke depan, FORMADES dan seluruh jaringan masyarakat sipil desa harus terus menguatkan kapasitas politik warga untuk mengambil bagian dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Karena hanya dengan cara itu, arah baru pembangunan desa tidak menjadi sekadar agenda kekuasaan, tetapi menjadi jalan pembebasan rakyat dari kemiskinan, ketimpangan, dan ketergantungan.
Arah baru pembangunan desa bukan hanya tentang dana yang lebih besar atau jabatan yang lebih panjang. Ia adalah soal siapa yang menentukan masa depan desa: birokrasi yang jauh dari realitas, atau rakyat yang setiap hari hidup dan berjuang di tanah desa itu sendiri.Jika desa ingin berdiri tegak, maka desa harus dibangun dari bawah. Oleh rakyat. Untuk rakyat.