Mengembalikan Budaya Bercocok Tanam dari Pekarangan

lintasdesa.com, 16 Juni 2025 – Di tengah derasnya arus modernisasi dan urbanisasi, satu demi satu jejak kearifan lokal kita mulai menghilang.

Pekarangan yang dulu hidup dengan aneka tanaman—dari sayuran, rempah, hingga tanaman obat keluarga—kini banyak yang menjadi ruang mati: dipaving, disemen, atau dibiarkan terbengkalai.

Padahal, dari sanalah kehidupan pernah bermula. Pekarangan bukan sekadar ruang sisa, melainkan fondasi awal dari kemandirian pangan keluarga dan relasi harmonis antara manusia dan alam.

Kini, saat ancaman krisis pangan semakin nyata dan ketergantungan terhadap pasar makin tinggi, sudah saatnya kita menengok kembali ke akar.

Mengembalikan budaya bercocok tanam dari pekarangan bukan sekadar upaya romantik menghidupkan masa lalu, melainkan sebuah langkah strategis menuju kedaulatan pangan berbasis keluarga.

Dalam satu petak tanah di halaman rumah, seorang ibu bisa menanam cabai, kangkung, atau tomat; anak-anak belajar menyemai benih dan memahami siklus hidup; dan keluarga bisa memperkuat relasi dengan alam, sekaligus mengurangi beban pengeluaran dapur.

Tapi lebih dari itu, pekarangan kini dapat ditransformasikan menjadi sistem pertanian terintegrasi (integrated farming) skala rumah tangga—yang menggabungkan pertanian, perikanan, dan peternakan dalam satu kesatuan ekologis yang saling menopang.

Bayangkan, satu keluarga memiliki kolam lele di sudut pekarangan, kandang ayam atau kambing di sisi lain, dan barisan sayur-mayur yang tumbuh dengan pupuk organik dari limbah ternak.

Baca Juga :  Ini Penyebab Anjloknya Harga Singkong

Siklusnya tertutup, biayanya rendah, dan hasilnya nyata—baik untuk dapur maupun lingkungan. Inilah bentuk pertanian berkelanjutan dari bawah, yang bisa direplikasi oleh siapa pun, di mana pun, tanpa perlu lahan luas.

Menurut Yoseph Heriyanto, Ketua Bidang Litbang dan Inovasi DPP Forum Membangun Desa (Formades), konsep ini sejalan dengan semangat pembangunan desa dari akar rumput.

“Mengembalikan budaya bercocok tanam dari pekarangan adalah langkah konkret dalam merebut kembali kedaulatan pangan keluarga. Formades mendorong agar setiap desa menjadikan pekarangan sebagai laboratorium hidup—ruang belajar, produksi, dan regenerasi nilai-nilai kemandirian,” ujar Yoseph.

Ia menambahkan, Formades akan memfasilitasi pelatihan teknis, pendampingan warga, serta kampanye nasional untuk mendorong integrasi pertanian-perikanan-peternakan dari pekarangan rumah tangga.

“Kita tidak bisa terus-menerus menggantungkan pangan dari luar desa. Ketahanan pangan sejati dimulai dari rumah—dari pekarangan sendiri,” tegasnya.

Budaya bercocok tanam di pekarangan bukan hanya soal produksi pangan. Ia mengandung nilai-nilai ekologis, ekonomi, dan spiritual.

Menanam dan merawat tanaman melatih kesabaran, mendidik kepekaan, dan menumbuhkan rasa cukup. Ini pula yang dulu diwariskan nenek moyang kita—dan kini perlu dihidupkan kembali dalam wajah yang lebih adaptif.

Baca Juga :  MENGENAL MASA GENERASI DARI SILENT SAMPAI BETA

Sayangnya, dalam bayang-bayang pembangunan yang kerap hanya mengukur kemajuan dari infrastruktur fisik dan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai semacam ini terpinggirkan.

Banyak anak tumbuh tanpa pernah tahu bau tanah basah atau bagaimana rupa daun singkong. Maka, menghidupkan kembali budaya tanam di pekarangan adalah juga bagian dari gerakan kebudayaan.

Gerakan ini bisa dimulai dari satu pot cabai, satu baris sawi, atau satu drum kompos. Perlahan, ia akan menjelma menjadi kebun kolektif keluarga, lalu menjadi gerakan komunitas. Jika digerakkan secara sistematis, pekarangan bisa menjadi poros ekonomi lokal sekaligus ruang pembelajaran lintas generasi.

Mengembalikan budaya bercocok tanam dari pekarangan adalah ikhtiar menyulut kembali nyala api kedaulatan di dapur rakyat. Ini bukan sekadar nostalgia, tetapi visi masa depan yang sedang kita bangun dari halaman rumah sendiri. Di tanah kecil itu, harapan bisa tumbuh. Dan dari tangan-tangan yang merawatnya, lahir generasi yang lebih kuat, lebih mandiri, dan lebih menyatu dengan alam.**

Yoseph Heriyanto
Ketua Litbang & Inovasi
DPP Forum Membangun Desa (FORMADES)